Selamat Datang di Website Pribadi Agussalim – Widyaiswara Kementerian Kelautan & Perikanan RI – Mobile Contact: 085242074257

Archive for: February 2016

Pergeseran Base Line Sumberdaya Pesisir dan Laut Hakatutobu

Oleh: Agussalim, S.Pi, M.Si

Abstrak

             Sumberdaya pesisir dan laut telah mengalami pergeseran berdasarkan waktu disebabkan adanya berbagai aktivitas di pesisir dan laut yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Banyaknya aktivitas yang terjadi, menyebabkan berubahnya struktur ekologi wilayah dan berakibat pada pergeseran base line sumberdaya yang ada pada wilayah tersebut. Pergeseran tersebut tidak terdokumentasikan dan kadang tidak dirasakan oleh masyarakat disebabkan perubahan tersebut terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengumpulkan data yang bersumber dari masyarakat dalam berbagai lapis generasi akan memberikan benang merah garis perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dan memberi informasi tentang penyebab perubahan garis dasar tersebut melalui FGD. Aktifitas masyarakat dengan motivasi ekonomi lebih dominan memberi dampak terhadap perubahan lingkungan dibandingkan perubahan karena faktor alam. Pergeseran base line ekosistem pesisir di Hakatutobu dominan disebabkan oleh limbah tambang yang masuk ke wilayah perairan Hakatutobu.

 

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

Kemajuan pembangunan yang sangat pesat yang berlangsung sejak pasca Perang Dunia II sampai era Milenium saat ini banyak membawa perubahan pada kehidupan manusia. Perubahan tersebut tidak terbatas pada pertumbuhan ekonomi dan sosial budaya tetapi juga perubahan pada struktur ekologis dan keanekaragaman hayati. Demikian halnya yang terjadi pada lingkungan pesisir dan pulau-pulau di Nusantara.

Kegiatan eksploitasi sumberdaya laut pesisir dan pulau berlangsung dalam kurun waktu lebih dari setengah abad dalam rangka pembangunan insfrastruktur untuk memajukan kehidupan perekonomian masyarakat setempat. Kegiatan tersebut tak pelak berimbas pada pergeseran posisi sumberdaya dari kondisi dasarnya (base line). Pergeseran yang berlangsung lama tersebut membuat perubahan yang terjadi hampir tidak dirasakan oleh penduduk setempat mengingat jarak usia suatu generasi dengan generasi berikutnya biasanya berlangsung sekitar 20-30 tahun, sehingga perubahan yang berlangsung dalam 40 atau 50 tahun bisa saja tidak dirasakan oleh satu generasi jika perubahan tersebut berjalan lambat.

Data tentang perubahan lingkungan masih jarang disajikan secara spesifik mengingat terbatasnya penelitian yang dilakukan secara spesifik pada tiap-tiap daerah. Hal ini menyebabkan kurangnya data yang dimiliki untuk mengetahui sejauh mana perubahan ekologis dan pergeseran garis dasar ekosistem yang dialami oleh suatu lingkungan. Penelitian yang minim disebabkan oleh jumlah sumberdaya yang basicnya peneliti jugakurang serta biaya penelitian yang diberikan oleh lembaga juga sangat minim mengingat hanya beberap lembaga saja yang memiliki tupoksi peneliian.

Inisiatif untuk melakukan pengumpulan data tidak terbatas pada tugas dan fungsi peneliti tetapi bisa dilakukan oleh siapapun sepanjang memiliki keinginan untuk mengumpulkan data. Termasuk didalamnya seorang pelatih atau fasilitator yang sering berkomunikasi dengan masyarakat yang dialatihnya bisa memanfaatkan momen pelatiha untuk mengumpulkan data dari masyarakat, seperti data pergeseran garis dasar ekosistem pesisir dan laut yang diambul dari berbagai usia masyarakat yang sedang menjadi peserta pelatihan

B. Rumusan Masalah

Berbagai aktivitas di pesisir dan laut menyebabkan berbagai dampak pada wilayah tersebut. Dalam waktu yang lama dampak yang ditimbulkan berbagai aktivitas pesisir adalah pergeseran base line ekosistem pesisir. Bagaimana pergeseran base line ekosistem pesisir dan sejauh manakah pergeseran tersebut? Faktor apa saja yang menyebabkan pergeseran base line tersebut dan seperti apakah pergeseran base line pada Pesisir Hakatutobu yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan data tentang berbagai jenis pergeseran base line sumberdaya pesisir dan perubahan ekosistem yang terjadi di Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara dan faktor penyebab perubahan tersebut.

Manfaat penelitian ini menjadi informasi yang berguna untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Hakatutobu dan wilayah pesisir lainnya di tanah air.

 

TINJAUAN PUSTAKA

A. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut

Penanaman Mangrove di Timbunan Lumpur Tambang Hakatutobu            Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Di sisi lain banyak kawasan psisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatannya belum optimal, atau bahkan belum terjamah sama sekali. Sehingga indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas keberlanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasai pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan dengan intensif. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama di kawasan-kawsan pesisir yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, (Dahuri dkk, 2001).

Hal yang ironis adalah suatu kenyataan bahwa disamping telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, pembangunan sumberdaya kelautan masih menyisakan sebagian besar penduuk pesisir terlilit dalam keiskinan di kaawasan timur Indonesia maupun kawasan barat Indonesia. Padahal kenyataan membuktikan bahwa keiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan dengan cara-cara yang merusak kelestariannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling dasar, yaitu memenuhi pangan. Penambanagn batu karang, penggunaan bahan peledak atau racun  utnuk menangkap ikan karang, pembabatan mangrove selain dilakukan oleh kelompokmanusia serakah, juga seringkali oleh penduduk yang karena kemiskinan absolut atau tidak tahu tentang bahaya kerusakan lingkungan, terpaksa melakukannya. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bukan saja disebabkan industrialisasi dan laju pembangunan yang pesat, tetapi juga oleh kemiskinan, (Dahuri dkk, 2001).

 

B. Pergeseran Base Line yang ditandai oleh Hancurnya Sumberdaya Pesisir

Sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan dapat dirasakan oleh masyarakat setempat. Tetapi proses perubahan sumberdaya yang berjalan lambat kadang tidak disadari oleh masyarakat. Perubahan sumberdaya yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat pesisir biasanya adalah sumberdaya yang mengalami kerusakan parah atau mengalami kehancuran. Ketika perubahan sumberdaya itu teridentifikasi maka penyebabnya dengan mudah bisa dikenali.

Pembangunan wilayah pesisir dan laut mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor. Di samping menimbulkan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, kegiatan setiap sektor juga menimbulkan dampak negative terhadap ekosistem-ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Seringkali kegiatan oembangunan di wilayah peisisr dan laut dilakukan tanoa memoertimbangkan aspek ekologis, atau dapat dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan lebih didominasi oleh aspek ekonomi. Bahkan  tidak jarang untuk kegiatan pembangunan dilakukan konversi kawasan lindung menjadi peruntukan kegiatan pembangunan lainnya, (Dahuri dkk, 2001).

Abrasi pantai dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia, atau kombinasi keduanya. Erosi kawasan pesisir di Indonesia utamanya disebabkan oleh gerakan gelombang pantai terbuka. Di samping itu, karena keterkaitan eksositem, maka perubahan hidrologis dan oseanografis juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir. Sebagai contoh penebangan hutan atau pertanian di lahan atas (up land) yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah mengakibatkan peningkatan laju erosi dan masukan beban ke dalam perairan sungai dan akhirnya sedimen ini akan terbawa oleh aliran air sungai serta diendapkan di kawasan pesisir, (Dahuri dkk, 2001).

Meningkatnya sedimentasi, pencemaran, pengeboman ikan, penggunaan sianida serta alat tangkap tak ramah lingkungan menyebabkan kondisi terumbu karang Indonesia semakin buruk dalam dua dekade terakhir ini. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 7% terumbu karang yang berada dalam kondisi sangat baik dan 26% dalam keadaan baik; sementara sisanya berada dalam kondisi kurang baik, (Suharsono dan Giyanto, 2003 dalam Terangi, 2005).

          

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada kegiatan pelatihan konservasi perikanan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh BPPP Ambon pada bulan Agustus 2015 di Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Sumber Data

Data yang disajikan dalam tulisan ini adalah data primer yang bersumber dari 30 orang nelayan Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga sebagai peserta pelatihan Konservasi.

 C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui interview langsung 30 orang nelayan pesisir Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka dalam Focus Group Discussion (FGD), dan pengamatan objek dengan pengamatan langsung dan snorkelling untuk objek bawah air.

 D. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah pedoman FGD dan pedoman observasi

 E. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif menggunakan table frekuensi identifikasi sederhana tentang pergeseran base line sumberdaya dalam tahun, dan tabel identifikasi dampak dari kegiatan perikanan dan kegiatan non perikanan yang diisi oleh nelayan dengan nelayan dan pengamatan langsung pada objek pesisir menggunakan perahu dan camera bawah air serta alat snorkelling.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hakatutobu adalah wilayah pesisir dengan berbagai potensi alam yang besar. Di bagian darat desa ini terdapat bahan tambang nikel yang dikelola oleh banyak perusahaan tambang. Selain Antam (Aneka Tambang) tambang Hakatutobu dikelola juga oleh perusahaan tambang lain yakni PT. DRI (Darma Rosadi Internasional), PT. PMS (Putra Mekongga Sejahtera), PT. Akarmas (AMI), PT. Bola Dunia, dan PT. Toshida. Di perairannya, daerah ini memiliki potensi laut berupa teripang (omzet mencapai 40 juta per panen tahun 1982). Ikan julung omzet mencapai 1000 ekor/trip (1982) (H. Burman/pengepul hasil laut Hakatutobu). Rumput laut juga berlimpah dengan omzet mencapai 7 ton per bulan pada tahun 2004 sampai tahun 2007. Budidaya kerapu sunu pada keramba jaring apung menghasilkan 50 juta/unit 10m2 pada tahun 2010 sampai tahun 2014.

Dasar perairan merah karena sedimentasi           Potensi teripang mulai mengalami penurunan sejak tahun 1990 dan tahun 2000 sudah sangat menurun produksinya sampai 30% dan tersisa 30% disekitar tahun 2010 dan tinggal 10% saat ini (2015) karena tidak ada upaya  budidaya lagi. Karang yang padat mulai terganggu sejak tahun 1999 dan menjadi rusak setelah tahun 2000 dan saat ini (2010 ke atas) kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Pantainya mulai bergeser sejak tahun 2000an. Mangrove mulai berkurang tahun 1980 bermula sejak munculnya pemukiman penduduk. Sunu, kepiting, cumi-cumi, kima dan beberapa biota laut lainnya seperti japing, alga hijau, lamun berkurang sejak tahun 2000an. Hiu sering ditemukan memijah dipantai tahun 1980 dan tahun 2000 sudah mulai berkurang seiring dengan adanya penampungan gelondongan milik BMW kayu  pada spowning ground hiu. Penyu tahun 1970-1980 masih sangat banyak (10-20 ekor/hari) dan tahun 2000-2010 berkurang sampai 80% dan saat ini sudah sangat langka (1 ekor/tahun) oleh sedimentasi akibat limbah tambang, dan habis tahun 2015. Dulu pernah ada eksploitasi penyu oleh pengepul dari Bali yang sekaligus menangkap pari manu.

Karang dimanfaatkan untuk bangunan oleh masyarakat 1990 sampai 2000an dan tersisa 30%. Mangrove tersisa 50%, penyebabnya karena bakau jadi bahan bakar tambang (arang untuk pengganti batu bara untuk membakar nikel), yang dibeli dari masyarakat. Lamun (nambo, lokal red.) dulunya hijau bahkan ada yang berbuah, tahun 2000-2010 ruasnya tertutup lumpur (sedimentasi) sehingga tersisa 45% saat ini.

Kepiting tahun 2010 sudah menurun sejak beroperasinya pukat rajungan dan tersisa 10% saat ini. Japing/kakapes (sejenis kerang) yang dikenal menurunkan kadar kolesterol dan mengatasi diabetes tahun 2000 mulai berkurang 30% dan saat ini tersisa 15%. Penurunan populasi japing disebabkan oleh sedimentasi. Burungeng (siput) yang hidup di mangrove juga drastis mengalami penurunan sejak terjadinya sedimentasi.

Pari ayam (pari manu) yang jumlahnya sangat banyak, berkurang tahun 2000 sejak adanya sedimentasi, dan semakin berkurang sampai 50% dengan adanya dermaga untuk kapal-kapal tambang. Lobster juga dulunya melimpah dan berkurang sejak tahun 2000 dan sudah sangat langka saat ini selain karena limbah juga karena bius oleh nelayan. Duyung juga terdapat dulu tetapi sekarang tidak ada lagi.

Terjadi invasi spesies baru atau blooming alga yang dikenali masyarakat Hakatutobu dengan istilah lumut sutera yang mulai muncul sejak tahun 2000-an dan terus meningkat kepadatannya sampai saat ini. Alga asing ini ditengarai muncul bersamaan limbah tambang. Keberadaan alga tersebut sangat mengganggu masyarakat setidaknya dalam empat hal utama yakni budidaya rumput laut, menutupi karang, merusak propeller, dan mengganggu pengeporasian alat tangkap jaring.

Sedimentasi oleh limbah tambang di antaranya disebabkan oleh jebolnya ckeckdam penampungan limbah tambang Antam tahun 1985. Antam muncul tahun 1960. Hakatutobu mulai dihuni sejak tahun 1976 setelah sebelumnya hanya merupakan kebun. Pemekaran dari desa Tambea dan Sopura tahun 1999.

Dampak limbah tambang yang menimpa Hakatutobu juga menyebabkan jarak fishing ground nelayan juga semakin menjauh disebabkan karena perairan di sekitar pesisir mereka sudah sangat tercemar dan sebagian besar biota yang berkembangbiak di sana menjadi mati. Demikian halnya dengan tutupan mangrove sangat berkurang disebabkan sedimentasi yang tinggi menyebabkan kematian pada mangrove dan kesulitan untuk tumbuhnya anakan baru.

Masyarakat Hakatutobu mengalami dampak ekologi dan ekonomi sekaligus sebagai akibat dari limbah tambang tersebut. Masyarakat yang telah menjual perahu dan beralih profesi menjadi pekerja tambang pada akhirnya harus kehilangan pendapatan karena perusahaan tambang tempat mereka bekerja harus tutup akibat moratorium menteri ESDM terkait tambang. Masyarakat juga kesulitan kembali melaut karena alatproduksi mereka sudah dijual dan lingkungan perairannya sudah tidak produktif disebabkan karena pencemaran oleh limbah tambang. Sesungguhnya kondisi ini juga terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat nelayan akan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Dahuri, dkk (2001) bahwa rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan serta menguntungkan bagi rakyat, khususnya masyarakat peisir.

 

B. Pembahasan

Pergeseran base line yang terjadi di hampir semua wilayah pesisir yang dihuni oleh nelayan umumnya tidak terjadi secara alami tetapi disebabkan oleh banyak faktor. Faktor penyebab pergeseran base line bisa terjadi secara alami, tetapi pada umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktifitas yang dilakukan manusia dialndasai berbagai motivasi, yang secara garis besarnya dibagi dalam aktivitas perikanan dan aktivitas non perikanan.

 

  1. Pergeseran Base Line

            Base line atau garis dasar adalah kondisi sedia kala dari suatu lingkungan sebelum adanya perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut disebabkan oleh faktor alam atau akibat kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa pergeseran base line adalah perubahan yang terjadi terhadap kondisi sedia kala dari suatu lingkungan. Pergeseran tersebut bisa berupa punahnya atau hilangnya suatu jenis spesies mahluk baik hewan atau tumbuhan, atau berkurangnya populasi dari jenis mahluk tertentu, atau bergesernya jarak sesuatu terhadap sesuatu yang lain misalnya pergeseran garis pantai, pergeseran daerah penangkapan ikan (range collapse) dan sebagainya.

Pergeseran base line bisa terjadi pada banyak jenis lingkungan, termasuk lingkungan perairan. Hal yang paling mudah dikenali dari pergeseran base line pada lingkungan perairan adalah berkurangnya spesies ikan tertentu atau biota perairan lainnya. Selain itu semakin berkurangnya tumbuhan pantai seperti berbagai jenis mangrove dan pohon yang tumbuh di pantai disertai semakin terkikisnya garis pantai oleh abrasi juga menjadi tanda yang paling umum terjadi pada hampir semua daerah perairan pantai.

Pergeseran base line umumnya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Karena pergeserannya yang perlahan, sehingga masyarakat yang ada cenderung kurang menyadari perubahan tersebut. Hal yang paling menjadi perhatian dari masayarakat atas sebuah perubahan adalah hal yang baru muncul sebagai akibat perubahan dan abai terhadap hal yang hilang. Ketika terjadi pembukaan lahan mangrove untuk pembangunan gedung atau jalan, maka yang terlihat adalah gedung atau jalan yang baru tersebut, alih-alih memperhatikan hilangnya kepiting bakau atau semakin dekatnya garis pantai ke pemukiman mereka.

Pergeseran base line akan lebih mudah terlihat jika masyarakat dari berbagai lapis generasi dikumpulkan dalam brainstorming menapaktilasi ingatan-ingatan terjauh mereka terhadap apa yang terjadi dan berubah dalam kurun waktu terjauh yang bisa terjangkau oleh ingatan mereka. Akan tercengang mereka demi menyadari bahwa bahwa banyak hal berubah tanpa mereka sadari. Keadaan demikian akan mudah mengantar mereka pada kesadaran pentingnya pelestarian sumberdaya lingkungan dengan mencegah kegiatan-kegiatan yang memacu perubahan yang negatif.

 

  1. Penyebab Pergeseran Base Line Ekosistem Pesisir

Faktor apa saja yang menjadi penyebab teradinya pergeseran garis dasar pada lingkungan? Secara garis besar terdiri atas faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam merupakan sesuatu kejadian yang tidak terencana dan tidak direkayasa serta tidak mampu dicegah karena terjadi secara alami, tetapi biasanya akan tercapai keseimbangan baru atau kembali ke keseimbangan lama setelah kejadian itu berlalu. Contoh faktor alam adalah gempa bumi, zunami dan sebagainya.

Pergeseran garis dasar yang disebabkan oleh faktor manusia, jenis dan jumlahnya banyak dan cenderung berefek negatif terhadap lingkungan. Contoh kegiatan manusia yang menyebabkan pergeseran garis dasar lingkungan perairan di antaranya :

  1. Penebangan pohon mangrove. Mangrove adalah jenis tumbuhan pantai yang berfungsi menahan ombak dan mencegah abrasi pantai. Mangrove ada berbagai jenis, ciri yang bisa dikenali dari tumbuhan ini di antaranya adalah akar nafas yang muncul dari dalam perairan atau akar rimpang. Mangrove menjadi habitat yang sangat baik untuk berbagai jenis biota perairan khususnya yang sesuai dengan perairan payau (antara asin dan tawar). Penebangan pohon mangrove dari dulu sudah dilakukan oleh umumnya penduduk pesisir untuk kepentingan kayu bakar dan bahan bangunan rumah mereka. Dewasa ini penebangan mangrove dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan tujuan pelebaran jalan, pembangunan gedung, lokasi budidaya ikan, maupun untuk perluasan wilayah pemukiman penduduk.
  2. Penebangan pohon pantai. Pohon pantai tidak hanya berupa mengrove tetapi terdapat berbagai jenis pohon yang tumbuh subur dan ikut menjadi penyangga garis pantai dan menjadi habitat bagi berbagai organisme. Sama halnya dengan mangrove, tujuan penebangan pohon pantai umumnya untuk digunakan pada bangunan rumah dan kayu bakar. Perluasan lahan budidaya seperti tambak dan empang di pesisir juga mengakibatkan penebangan pohon pantai dalam jumlah banyak
  3. Pengambilan karang dilakukan secara masiv di hampir setiap pesisir yang dihuni oleh nelayan untuk kepentingan tertentu. Ada masyarakat yang mengambil krang untuk pembangunan rumah berupa pondasi maupun dinding rumah batu, untuk hiasan taman bahkan untuk dijual. Pengambilan karang juga dilakukan oleh nelayan penjual ikan hias, disebabkan karena sebagian ikan hias berada pada sela-sela karang sehingga untuk mengambilnya nelayan memotong karang dan membawanya ke daratan. Pengambilan karang juga dilakukan oleh nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bubu, karang digunakan sebagai pemberat untuk menindih bubu agar tidak hanyut terbawa arus.
  4. Penangkapan ikan dengan alat yang merusak adalah faktor yang paling dominan menyebabkan pergeseran base line karena itu terjadi hamper setiap hari sepanjang musim penangkapan dan dilakukan oleh banyak nelayan. Alat tangkap yang termasuk merusak termasuk di antaranya trawl atau pukat harimau serta pengoperasian jaring dengan mata kecil. Jarring bermata kecil merusak karena menyebabkan banyaknya ikan kecil yang tertangkap dan hanya menjadi discard atau tangkapan yang dibuang, serta adanya biota-biota penting perairan non target yang ikut tertangkap seperti duyung, lumba, dan penyu. Selain jarring bermata kecil ukuran 1 inci, penangkapan yang merusak juga disebabkan oleh penggunaan bom, potassium dan sianida.
  5. Cara penangkapan ikan yang merusak. Selain alat yang merusak seringkali cara penangkapan ikan juga merusak biota perairan, di antaranya bameti dan balobe. Bameti adalah istilah untuk kegiatan mencari biota perairan pada daerah pasang surut yang kering pada saat air surut. Bameti merusak karena masyarakat sering menggunakan benda keras untuk mencungkil karang agar bisa mendapatkan kerang atau kepiting yang diinginkan. Selain bameti, nelayan di kawasan timur Indonesia juga mengenal istilah balobeh atau memburu ikan dengan tombak atau panah. Adakalanya nelayan memburu ikan sambil berenang tetapi lebih sering dengan berpijak pada karang sehingga menyebabkan karang patah dan rusak. Maka bameti dan balobe bisa dikategorikan cara penangkapan yang merusak.
  6. Pembuangan sampah pada perairan banyak dilakukan oleh penduduk pesisir di hamper semua daerah pesisir. Hal ini seperti sudah membudaya di masyarakat sehingga sampah menjadi ciri khas lingkungan pesisir dan laut. Laut dan pantai seperti tempat pembuangan sampah paling efektif dan luas. Kurangnya fasilitas pengolahan sampah di pesisir juga ikut memberi justifikasi bahwa sampah bisa di buang di mana saja di pesisir pantai. Sebagian besar sampah yang dibuang cenderung akan merusak lingkungan dan menimbulkan polusi. Lebih parah lagi jika sampah tersebut didominasi sampah plastic yang sulit diurai. Sampah menjadi kendala dalam pengembangan wilayah dan sampah menjadi tantangan utama pengembangan wilayah pesisir yang akan dikembangkan menjadi objek wisata.
  7. Reklamasi/penimbunan pantai pada 10 tahun terakhir banyak menjadi warna pembangunan kota-kota pesisir di tanah air. Keterbatasan lahan untuk perluasan kota menyebabkan ide penimbunan laut menjadi daratan banyak dilakukan pemerintah daerah yang wilayah kota administratifnya berada di peisir pantai. Reklamasi pantai akan menyebabkan perubahan ekosistem pesisir pantai yang menjadi objek reklamasi. Ruwaya ikan akan berubah dan seluruh biota sesil akan mati disebabkan penimbunan pantai.
  8. Pengambilan berbagai jenis biota unik/langka banyak dilakukan nelayan dengan motivasi ekonomi dan sebagian untuk konsumsi. Biota menjadi langka diantaranya disebabkan oleh produktivitas dan survival rate biota tersebut rendah, juga karena biota tersebut mengalami eksploitasi yang tinggi. Eksploitsi yang tinggi terhadap biota tertentu disebabkan oleh permintaan pasar yang tinggi sehingga masyarakat memburu biota tersebut meskipun sudah masuk status langka dan dilindungi.
  9. Aktivitas pertambangan di pesisir atau pertambangan yang limbahnya sampai di pesisir. Limbah tambang yang masuk ke perairan menyebabkan berbagai organisme tidak mampu bertahan hidup karena perubahan lingkungan. Sebagian organisme bertahan dan melakukan adaptasi tetapi mengalami kematian. Limbah tambang juga menyebabkan munculnya spesies baru yang berbeda dengan spesies asli. Spesies infasif akan bersaing dengan spesies asli dan mengakibatkan perubahan rantai makanan.
  10. Perluasan pemukiman pesisir. Pembangunan rumah-rumah nelayan atau penduduk di atas sepadan pantai berakibat pada tersingkirnya berbagai organisme yang memanfaatkan sepadan pantai untuk mencari makan dan beraktivitas. Penyu misalnya yang biasanya naik ke pasir pantai bertelur menjadi terhalangi ketika pada daerah tersebut telah dibangun pemukiman atau rumah di atasnya.
  11. Penambangan pasir. Aktivitas yang umum terlihat di pantai adalah pengambilan pasir oleh penduduk untuk berbagai tujuan pembangunan fisik di darat. Akibat yang ditimbulkannya terhadap struktur pantai ternyata tidaklah sedikit. Penambangan pasir yang berlangsung lama mengakibatkan penurunan ketinggian pasir di bibir pantai yang berakibat pada bertambahnya kekuatan ombak yang menghantam pantai karena pasir yang menghalangi ombak sudah sangat berkurang. Pohon pantai juga banyak yang tumbang karena komposisi pasir tempatnya tumbuh menjadi hilang. Demikian halnya dengan biota yang menghuni sempadan pantai tersebut.

 

 

 PENUTUP

A. Simpulan

Terdapat berbagai penyebab terjadinya pergeseran base line yang pada umumnya disebabkan aktivitas manusia. Aktivitas tersebut berupa kegiatan yang bertujuan untuk perikanan dan kegiatan yang tujuannya non perikanan. Aktivitas yang berdampak pada di antaranya penangkapan ikan dengan alat yang merusak, penangkapan ikan dengan alat yang merusak, penangkapan biota langka/dilindungi, pengambilan karang, penebangan mangrove dan pohon pantai, penambangan pasir, pembuangan sampah di pantai dan laut, limbah tambang yang sampai di pantai, pemukiman di atas sepadan pantai dan reklamasi/penimbunan pantai.

Pergeseran base line di Desa Hakatutobu berdasarkan hasil FGD dengan masyarakat nelayan setempat dan hasil pengamatan langsung disebabkan oleh limbah tambang nikel dari beberapa cekdam penampungan limbah tambang perusahaan tambang di daerah tersebut sehingga menimbulkan sedimentasi pada perairan. Pergeseran yang terjadi di antaranya hilangnya berbagai jenis biota perairan yang menjadi andalan produksi nelayan Hakatutobu seperti teripang, lobster, udang, berbagai jenis ikan, terumbu karang dan berkurangnya vegetasi mangrove dan lamun serta sulitnya reboisasi mangrove. Berbagai spesies asli digantikan oleh spesies invasive yang sangat merugikan nelayan dan penduduk Hakatutobu.

Dampak dari pergeseran base line yang dialami oleh masyarakat Hakatutobu adalah penurunan pendapatan masayarakat dan hilangnya beberapa mata pencaharian nelayan di pesisir di sebabkan oleh rusaknya ekosistem perairan di wilayah tersebut. Jarak fishing ground nelayan menjadi jauh karena perairan di dekat pemukiman mereka tidak produktif karena tercemar serta potensi budidaya ikan, teripang dan beberapa spesies andalan tidak bisa lagi dilakukan. Nelayan yang pada umumnya beralih profesi menjadi penambang juga kehilangan pekerjaan sama sekali karena ketika perusahaan tambang banyak yang tutup, asset berupa perahu untuk melaut pun sudah tidak mereka miliki lagi.

 

B. Saran

Pengelolaan wilayah pesisir harusnya mengkalkulasi besar kecilnya damapak yang akan terjadi baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang atas setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masayarakat harus dibangun agar sedapat mungkin pergeseran base line sedini mungkin bisa diminimalisir agar masyarakat bisa memperoleh sebesar-besarnya manfaat yang diberikan oleh lingkungan pesisir dan laut secara berkelanjutan. Regulasi yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir dan laut harus menitikberatkan pada aspek konservasi pesisir dan laut agar kegiatan pembangunan yang dilakukan baik pemerintah pusat maupun daerah tidak kontra produktif dengan upaya menjaga dan melestarikan seumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan rakyat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Peissir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Terangi. 2005. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia, Jakarta Selatan.

Menggalakkan Gerakan Konservasi di Kawasan Timur Indonesia

Membuat Bioreeftek di SananaKonservasi adalah upaya perlindungan sumberdaya alam agar lestari dan berkelanjutan. Konservasi perairan bertujuan agar sumberdaya alam perairan (laut, pesisir dan pulau-pulau kecil) lestari dan dapat memberikan manfaatnya secaraberkelanjutan bagi masyarakat dan bangsa. Konservasi perairan mulai banyak digalakkan di tanah air menyusul banyaknya kerusakan di wilayah pesisir dan laut di tanah air, yang terjadi akibat pengelolaan yang kurang tepat. Untuk kawasan timur Indonesia sendiri dampak kerusakan akibat berbagai aktivitas di pesisir dan laut masih tergolong sedang dan belum terlambat untuk diselamatkan agar sumberdaya kembali pulih dan memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan. Hal ini mendasari keinginan yang kuat dari Tim Pelatih Konservasi Perairan BPPP Ambon untuk melakukan pengembangan kapasitas masyarakat agar secara aktif dan kolektif melakukan upaya konservasi atas sumberdaya pesisir yang mereka miliki.

Kawasan timur Indonesia terkenal dengan wilayah perairan laut yang luas dengan pulau-pulau kecil dalam jumlah ribuan. Hal ini menunjukkan luasnya wilayah pesisir dan laut di kawasan timur indonesia, serta menjadi daerah yang dominan dihuni oleh penduduk. Di samping itu, kondisi masyarakat pesisir yang masih minim pengetahuan dan taraf ekonomi yang rendah, menyebabkan eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut secara serampangan berpotensi membawa dampak kerusakan pada sumberdaya perairan. Sebelum hal tersebit terjadi terlalu jauh, maka penyadaran masyarakat akan pentingnya wawasan konservasi dalam pengelolaan sumberdaya adalah sesuatu yang urgen dilakukan saat ini.

Praktek Bioreeftek di Pantai Dullah LautAgussalim sebagai bagian integral dari Tim Pelatih Konservasi BPPP Ambon bersama-sama dengan timnya terus melakukan upaya peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dan pulau-pulau di kawasan timur indonesia. Pelatihan Perikanan Berkelanjutan adalah salah satu jenis peningkatan kapasitas yang dilakukan olehnya. Di dalam pelatihan tersebut, masyarakat dilatih mengidentifikasi pergeseran base line sumberdaya pesisir serta penyebab pergeseran tersebut. Masyarakat dilatih untuk peka mengenali mana kegiatan yang berdampak merusak sumberdaya pesisir dan laut, baik itu kegiatan yang sifatnya perikanan maupun kegiatan non-perikanan. Masyarakat juga dilatih membangun strategi pengelolaan agar perikanan berkelanjutan dengan menghindari upaya penangkapan ikan yang merusak, baik alatnya atau pun caranya. Alat penangkapan ikan yang merusak misalnya pukat harimau, jaring bermata 1 inci dan sejenisnya, sedangkan cara penangkapan ikan yang merusak seperti bameti (ketika mencungkil karang), balobeh (jika menginjak karang) dan sejenisnya. Ada pula jenis kegiatan yang tujuannya perikanan tetapi baik alat maupun caranya sama-sama merusak yaitu menggunakan bom, potas, bore, tuba, akar bahar dan sejenisnya.

Sepanjang tahun 2014 hingga akhir 2015, berbagai daerah pesisir di kawasan timur indonesia telah menjadi bagian upaya konservasi perairan. Mulai dari Wakatobi dan Kolaka di Sulawesi Tenggara, sampai di pulau-pulau terluar Biak, bahkan sampai di daerah perbatasan dengan Papua Nugini di Skouw Tiga Kampung, Kota Jayapura-Papua. Di Maluku sendiri masyarakat yang sudah dilatih tersebar di berbagai daerah di antaranya Dullah Laut Kota Tual, Dobo-Kepulauan Aru, Pulau Haruku Maluku Tengah, Kawa-SBB, Jikumerasa-Pulau Buru, dan Kota Ambon. Di Papua Barat, pelatihan yang sama dilakukan di Kota Manokwari dan Raja Ampat. Di Maluku Utara, pelatihan Perikanan Berkelanjutan dilaksanakan di Sanana Kepulauan Sula.

Penurunan Bioreeftek di HarukuSepanjang kegiatan pelatihan di lima provinsi tersebut diperoleh data berbagai pergeseran sumberdaya (shifting base line) dan berbagai aktivitas yang menjadi penyebab pergeseran tersebut. Kerusakan pesisir berupa penurunan drastis pada vegetasi mangrove di lokasi pelatihan pada umumnya disebabkan oleh penebangan pohon mangrove untuk tujuan bahan kayu bakar dan bangunan rumah. Penurunan populasi penyu yang di beberapa tempat sampai pada tingkat ekstrim disebabkan oleh penangkapan penyu dan telurnya untuk tujuan dijual dan konsumsi. Kerusakan karang umunya disebabkan oleh pengeboman ikan, dan sebagian disebabkan oleh penambangan karang serta kegiatan balobe dan bameti. Selain rusaknya berbagi jenis sumberdaya, perubahan lainnya yang teridentifikasi di antaranya adanya sedimentasi oleh limbah dari aliran sungai, bahkan ada yang berupa limbah tambang yang sangat merusak seperti yang terjadi di Hakatutobu, Kolaka. Pergeseran base line yang lainnya adalah terjadinya perubahan jarak tangkap atau atau fishing ground para nelayan menjadi semakin jauh. Hal ini dikenal dengan istilah range collapse.  Dampak lain yang teridentifikasi adalah punahnya atau berkurangnya populasi beberapa jenis spesies tumbuhan maupun hewan perairan seperti triton, kima, bambu laut, ikan napoleon, pari, dan beberapa jenis ikan lainnya.

Sampah yang dibuang di banyak tempat di pesisir secara tidak teratur ikut memberi andil yang besar terhadap kerusakan sumberdaya pesisir. Sebagian sampah susah diurai sehingga mengganggu kehidupan karang dan biota perairan. Sampah juga menyebabkan sedimentasi perairan sehingga menurunkan kesuburan dan produktivitas perairan. Aktivitas yang banyak dilakukan di pesisir juga adalah penambangan pasir untuk membangun rumah dan bangunan lain oleh masyarakat pesisir. Bahkan di beberapa tempat pasir menjadi barang yang diperjualbelikan sehingga diekploitasi secara terus menerus. Kondisi ini menyebabkan abrasi pantai dan tumbangnya pohon-pohon pantai dalam jumlah yang banyak. Bahkan sebagian rumah penduduk di pesisir Wangel rubuh tertimpa gelombang laut disebabkan karena permukaan pasir di pantainya berkurang sampai kedalaman sekitar 2 meter lebih.

menggali kebutuhan masyarakatBerbagai hal di atas adalah kondisi yang ditemui di lapangan dan diperoleh datanya melalui Focus Group Discussion (FGD) peserta pelatihan Konservasi bersama para pelatih. Pelatihan juga berisi simulasi tragedy of the common sebagai akibat dari sistem pengelolaan common property dan open acces sumberdaya perikanan. Simulai ini menggambarkan bahwa motif ekonomi menjadi alasan eksploitasi sumberdaya sampai kepada perebutan sumberdaya oleh masyarakat. Pelatihan juga merangsang peserta untuk mengidentifikasi alat tangkap ikan dan cara penangkapan ikan yang merusak lalu merubahnya menjadi penangkapan ikan yang ramah lingkungan.

Bagian penting dalam pelatihan Konservasi Perikanan Berkelanjutan yang dilaksanakan oleh Agussalim dan Tim Pelatih dari BPPP Ambon adalah peserta berlatih membuat media tumbuh terumbu karang berupa blok beton yang di atasnya bersusun tempurung kelapa yang berisi campuran semen dan pasir. Media ini dikenal dengan istilah bioreeftek. Bioreeftek dipersiapkan menjadi media tempat menempelnya planula karang yang akan tumbuh menjadi terumbu karang yang baru dalam kurun waktu lebih dari 1,5 tahun. Media ini efektif untuk merehabilitasi terumbu karang yang rusak, dan efisien diduplikasi oleh masyarakat karena membutuhkan sumberdaya yang murah dan mudah diperoleh di mana saja. Bioreeftek sekaligus menjadi tempat bermainnya ikan-ikan mengingat strukturnya yang memiliki sekat-sekat seperti labirin yang bisa ditempati bermain ikan.

Dalam upaya meningkatkan berbagai pengetahuan tentang konservasi untuk disampaikan ke masyarakat, maka selaku pelatih Agussalim senantiasa berusaha meningkatkan kapasitas pribadinya melalui berbagai pelatihan baik pelatihan maupun Training of Trainer (ToT). Pelatihan yang dia ikuti sepanjang tahun 2014-2015 antara lain: pelatihan pemantauan biofisik bawah air, ToT pelatihan pemantauan biofisik Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Scuba Diving, ToT Pariwisata Bahari di KKP, International Training MPAG (Marine Protected Area Governance), Penataan Ruang dan Jejaring KKP, Workshop Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM), Sustainable Tourism, Pemantauan Kebutuhan Peningkatan Kapasitas Pengelola KKP, dan Assesor Kompetensi Konservasi.

?????????????

Berbagai tanggapan dan ungkapan terima kasih dari masyarakat yang menjadi peserta pelatihan tak terhitung jumlahnya. Masayarakat selalu dengan kesan mendalam melepas kepulangan Tim Pelatih BPPP Ambon di setiap selesai kegiatan pelatihan. Di antara masyarakat tersebut ada yang berterimakasih dan mengatakan bahwa selama ini kami hanya tau merusak karang, tetapi kini kita bisa buat bioreeftek sendiri untuk menumbuhkan karang kita (pernyataan dari Kepala Desa Pasi di Padaido-Biak). Ada pula yang menyayangkan pengetahuan konservasi ini terlambat mereka ketahui, sehingga lingkungan mereka keburu rusak sebelum mereka sadar aktivitas apa saja yang merusak lingkungan. Masyarakat pada umumnya bertekad akan menjadi pelopor dalam upaya pelestarian lingkungan pesisir dan laut. Agussalim juga pernah diundang menjadi pelatih konservasi pada pelatihan yang dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Biak, karena tahun sebelumnya telah melatih masyarakat di Biak untuk pelatihan yang sama.