Selamat Datang di Website Pribadi Agussalim – Widyaiswara Kementerian Kelautan & Perikanan RI – Mobile Contact: 085242074257

Category: Kelautan

Yanto dan Wisata Mangrove Tangkolak dalam Balutan Sampah Plastik

Senyum sumbringah terbersit di wajah Pak Yanto (pengelola Dewi Bahari Tangkolak, Kelurahan Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) mendapat kunjungan wisatawan dari berbagai daerah, yang sebenarnya peserta pelatihan PELP BDA KP Sukamandi. Senyumnya menyiratkan harapan baru, bahwa tempat wisata mangrove yang dia bangun selama ini akan kembali mendapat perhatian dari pemerintah. Dia telah mengabdikan dirinya dengan sukarela menanam mangrove di kawasan yang dulunya hanya menjadi tempat orang membuang hajat. Sejak 9 tahun lalu, tepatnya 2014, Yanto bersama kelompok yang dibangunnya, telah menanam sedikitnya 80.000 anakan mangrove yang saat ini telah besar dan menjadikan kawasan pesisir Tangkolak teduh dan menarik hati pengunjung. Tidak berselang lama sejak anakan mangrove menghijaukan kawasan ini, tempat ini lalu menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat. Perhatian pun berdatangan dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dan berbagai perguruan tinggi ternama di tanah air seperti Universitas Indonesia dan Bina Nusantara. Namun apa daya, sejak bencana covid menyerang, saat ini fasilitas pendukung wisata yang telah dibangun banyak mengalami kerusakan dan terlihat sampah berserakan dimana-mana.

Onggokan sampah melingkari gazebo dengan beberapa bagian atap bolong, menjadi pemandangan yang seolah mengisyaratakan bahwa tempat ini sekian waktu tidak dikunjungi, dan kurang terurus. Selain itu, beberapa bagian dari jembatan tracking mangrove tidak bisa dipijak karena rapuh dan telah rubuh di sebagian sisinya. Terdapat pula bangunan bekas kios dengan logo Kementerian Kelautan Perikanan, yang menandakan bahwa itu adalah bantuan pemerintah. Menurut Yanto, kondisi sebelumnya jauh lebih memprihatinkan, jalan arteri  berupa beton penuh dengan sampah plastik. Dengan hati dan jiwa besar, Yanto yang sebelumnya merupakan pelaku pengrusakan terumbu karang di kawasan ini, berusaha membangun kembali objek wisata mangrove ini, sebagai upaya memperbaiki kesalahan masa lalunya. Yanto berusaha mengajak teman-temannya sesama perusak lingkungan agar bertobat dan membangun lingkungan, tetapi sebagian besar tidak mengindahkannya. Yanto tidak berputus asa, bermodal dukungan keluarga, terutama istri dan putranya, dia terus melakukan pembibitan mangrove untuk ditanam pada lokasi yang masih gundul. Dengan berjalannya waktu, serta berbekal restu dari pemerintah kelurahan setempat, Yanto terus berjuang memulihkan kondisi objek wisata Tangkolak. Saat ini sekitar 14 orang mengambil bagian menjadi anggota kelompok besutan Yanto dan membangun desa wisata atau Dewi Bahari Tangkolak.

Diakui oleh Yanto bahwa sampah menjadi kendala terbesar yang dihadapinya dalam memajukan objek wisata Tangkolak agar bisa memuaskan pengunjung. Sumber sampah-sampah plastik tersebut bukan hanya dari penduduk setempat, tetapi juga dari laut dan muara sungai yang terdapat di sisi kawasan mangrove. Selain mengangkut sampah keluar dari kawasan, Yanto tidak punya solusi lain, sementara sampah tersebut terus berdatangan. Tidak ada alat pemusnah sampah, tidak ada insenerator disana. Tetapi Yanto tidak berputus asa, dia terus berjuang mempertahankan eksistensi mangrove tersebut dan meluaskannya selagi dia mampu.

Dalam jabat erat tangan Yanto dengan pengunjung saat berpamitan, seolah dia ingin menitip pesan. Seolah dia ingin berkata, bukankah ini bukanlah tugas Yanto seorang diri? Yanto hanyalah seorang tamatan SMP yang merasa berhutang pada lingkungan yang selama ini banyak dirusaknya. Melalui gerakan menanam mangrove sesungguhnya dia mengajak kepada semua pihak agar tumbuh kesadaran lingkungannya. Yanto ingin menjaga masyarakatnya dari serangan banjir rob air laut yang datang setiap tahun. Yanto juga ingin terumbu karangnya tetap lestari. Mangrove adalah benteng dua sisi yang menurutnya akan menjaga darat dan laut dari kerusakan. Menjaga darat dari serangan rob dan tzunami, menjaga laut dari serangan sampah dan sedimentasi. Yanto tidak pandai merangkai kata, tetapi sangat semangat berkarya mengisi hari-harinya membangun kawasan mangrove. Bukan juga untuk rupiah yang ingin dikumpulkannya, tetapi demi kebaikan masyarakat dan generasi Yanto di masa depan.

Wisata bahari akan menjadi solusi bagi masyarakat pemilik kawasan hutan mangrove seperti Tangkolak. Hanya saja, tidak dengan sendirinya sebuah objek menjadi tujuan wisata yang menarik. Wisata bahari akan menjadi sumber ekonomi baru bagi masyarakat pesisir. Butuh manajemen yang baik dari berbagai pihak yang berkepentingan. Penataan sarpras pendukung, pengaturan entrance fee, pendataan data dukung lingkungan, perhitungan limit of acceptable change (LAC), penumbuhan kelompok sadar wisata (Darwis), pengembangan produk-produk lokal seperti kerajinan kerang atau makanan dan minuman dari mangrove, promosi dan pemasaran wisata serta berbagai hal lainnya. Tidak cukup dengan Pak Yanto seorang, tetapi kehadiran penyuluh, pengelola ekosistem pesisir dan laut, pemerhati wisata, akademisi, aktivis lingkungan, wisatawan dan masyarakat lokal, untuk bahu membahu membangun kawasan mangrove Tangkolak, untuk beranjak dari balutan sampah, menjadi objek wisata yang memberikan jasa wisata yang menyehatkan dan memberikan pengalaman menarik bagi semua pengunjung.

 

Oleh : Agussalim, Trainer Pariwisata Berkelanjutan, KKP

Pergeseran Base Line Sumberdaya Pesisir dan Laut Hakatutobu

Oleh: Agussalim, S.Pi, M.Si

Abstrak

             Sumberdaya pesisir dan laut telah mengalami pergeseran berdasarkan waktu disebabkan adanya berbagai aktivitas di pesisir dan laut yang bertujuan untuk pembangunan ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Banyaknya aktivitas yang terjadi, menyebabkan berubahnya struktur ekologi wilayah dan berakibat pada pergeseran base line sumberdaya yang ada pada wilayah tersebut. Pergeseran tersebut tidak terdokumentasikan dan kadang tidak dirasakan oleh masyarakat disebabkan perubahan tersebut terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Mengumpulkan data yang bersumber dari masyarakat dalam berbagai lapis generasi akan memberikan benang merah garis perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang lama dan memberi informasi tentang penyebab perubahan garis dasar tersebut melalui FGD. Aktifitas masyarakat dengan motivasi ekonomi lebih dominan memberi dampak terhadap perubahan lingkungan dibandingkan perubahan karena faktor alam. Pergeseran base line ekosistem pesisir di Hakatutobu dominan disebabkan oleh limbah tambang yang masuk ke wilayah perairan Hakatutobu.

 

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang

Kemajuan pembangunan yang sangat pesat yang berlangsung sejak pasca Perang Dunia II sampai era Milenium saat ini banyak membawa perubahan pada kehidupan manusia. Perubahan tersebut tidak terbatas pada pertumbuhan ekonomi dan sosial budaya tetapi juga perubahan pada struktur ekologis dan keanekaragaman hayati. Demikian halnya yang terjadi pada lingkungan pesisir dan pulau-pulau di Nusantara.

Kegiatan eksploitasi sumberdaya laut pesisir dan pulau berlangsung dalam kurun waktu lebih dari setengah abad dalam rangka pembangunan insfrastruktur untuk memajukan kehidupan perekonomian masyarakat setempat. Kegiatan tersebut tak pelak berimbas pada pergeseran posisi sumberdaya dari kondisi dasarnya (base line). Pergeseran yang berlangsung lama tersebut membuat perubahan yang terjadi hampir tidak dirasakan oleh penduduk setempat mengingat jarak usia suatu generasi dengan generasi berikutnya biasanya berlangsung sekitar 20-30 tahun, sehingga perubahan yang berlangsung dalam 40 atau 50 tahun bisa saja tidak dirasakan oleh satu generasi jika perubahan tersebut berjalan lambat.

Data tentang perubahan lingkungan masih jarang disajikan secara spesifik mengingat terbatasnya penelitian yang dilakukan secara spesifik pada tiap-tiap daerah. Hal ini menyebabkan kurangnya data yang dimiliki untuk mengetahui sejauh mana perubahan ekologis dan pergeseran garis dasar ekosistem yang dialami oleh suatu lingkungan. Penelitian yang minim disebabkan oleh jumlah sumberdaya yang basicnya peneliti jugakurang serta biaya penelitian yang diberikan oleh lembaga juga sangat minim mengingat hanya beberap lembaga saja yang memiliki tupoksi peneliian.

Inisiatif untuk melakukan pengumpulan data tidak terbatas pada tugas dan fungsi peneliti tetapi bisa dilakukan oleh siapapun sepanjang memiliki keinginan untuk mengumpulkan data. Termasuk didalamnya seorang pelatih atau fasilitator yang sering berkomunikasi dengan masyarakat yang dialatihnya bisa memanfaatkan momen pelatiha untuk mengumpulkan data dari masyarakat, seperti data pergeseran garis dasar ekosistem pesisir dan laut yang diambul dari berbagai usia masyarakat yang sedang menjadi peserta pelatihan

B. Rumusan Masalah

Berbagai aktivitas di pesisir dan laut menyebabkan berbagai dampak pada wilayah tersebut. Dalam waktu yang lama dampak yang ditimbulkan berbagai aktivitas pesisir adalah pergeseran base line ekosistem pesisir. Bagaimana pergeseran base line ekosistem pesisir dan sejauh manakah pergeseran tersebut? Faktor apa saja yang menyebabkan pergeseran base line tersebut dan seperti apakah pergeseran base line pada Pesisir Hakatutobu yang menjadi objek pembahasan dalam tulisan ini?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan data tentang berbagai jenis pergeseran base line sumberdaya pesisir dan perubahan ekosistem yang terjadi di Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara dan faktor penyebab perubahan tersebut.

Manfaat penelitian ini menjadi informasi yang berguna untuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Hakatutobu dan wilayah pesisir lainnya di tanah air.

 

TINJAUAN PUSTAKA

A. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut

Penanaman Mangrove di Timbunan Lumpur Tambang Hakatutobu            Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ada beberapa kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif. Di sisi lain banyak kawasan psisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatannya belum optimal, atau bahkan belum terjamah sama sekali. Sehingga indikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitas keberlanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir, dan abrasai pantai, telah muncul di kawasan-kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan dengan intensif. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama di kawasan-kawsan pesisir yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunannya, (Dahuri dkk, 2001).

Hal yang ironis adalah suatu kenyataan bahwa disamping telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, pembangunan sumberdaya kelautan masih menyisakan sebagian besar penduuk pesisir terlilit dalam keiskinan di kaawasan timur Indonesia maupun kawasan barat Indonesia. Padahal kenyataan membuktikan bahwa keiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan dengan cara-cara yang merusak kelestariannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling dasar, yaitu memenuhi pangan. Penambanagn batu karang, penggunaan bahan peledak atau racun  utnuk menangkap ikan karang, pembabatan mangrove selain dilakukan oleh kelompokmanusia serakah, juga seringkali oleh penduduk yang karena kemiskinan absolut atau tidak tahu tentang bahaya kerusakan lingkungan, terpaksa melakukannya. Dengan demikian, kerusakan lingkungan bukan saja disebabkan industrialisasi dan laju pembangunan yang pesat, tetapi juga oleh kemiskinan, (Dahuri dkk, 2001).

 

B. Pergeseran Base Line yang ditandai oleh Hancurnya Sumberdaya Pesisir

Sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan dapat dirasakan oleh masyarakat setempat. Tetapi proses perubahan sumberdaya yang berjalan lambat kadang tidak disadari oleh masyarakat. Perubahan sumberdaya yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat pesisir biasanya adalah sumberdaya yang mengalami kerusakan parah atau mengalami kehancuran. Ketika perubahan sumberdaya itu teridentifikasi maka penyebabnya dengan mudah bisa dikenali.

Pembangunan wilayah pesisir dan laut mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor. Di samping menimbulkan dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, kegiatan setiap sektor juga menimbulkan dampak negative terhadap ekosistem-ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Seringkali kegiatan oembangunan di wilayah peisisr dan laut dilakukan tanoa memoertimbangkan aspek ekologis, atau dapat dikatakan bahwa pembangunan yang dilaksanakan lebih didominasi oleh aspek ekonomi. Bahkan  tidak jarang untuk kegiatan pembangunan dilakukan konversi kawasan lindung menjadi peruntukan kegiatan pembangunan lainnya, (Dahuri dkk, 2001).

Abrasi pantai dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia, atau kombinasi keduanya. Erosi kawasan pesisir di Indonesia utamanya disebabkan oleh gerakan gelombang pantai terbuka. Di samping itu, karena keterkaitan eksositem, maka perubahan hidrologis dan oseanografis juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir. Sebagai contoh penebangan hutan atau pertanian di lahan atas (up land) yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah mengakibatkan peningkatan laju erosi dan masukan beban ke dalam perairan sungai dan akhirnya sedimen ini akan terbawa oleh aliran air sungai serta diendapkan di kawasan pesisir, (Dahuri dkk, 2001).

Meningkatnya sedimentasi, pencemaran, pengeboman ikan, penggunaan sianida serta alat tangkap tak ramah lingkungan menyebabkan kondisi terumbu karang Indonesia semakin buruk dalam dua dekade terakhir ini. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 7% terumbu karang yang berada dalam kondisi sangat baik dan 26% dalam keadaan baik; sementara sisanya berada dalam kondisi kurang baik, (Suharsono dan Giyanto, 2003 dalam Terangi, 2005).

          

METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada kegiatan pelatihan konservasi perikanan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh BPPP Ambon pada bulan Agustus 2015 di Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Sumber Data

Data yang disajikan dalam tulisan ini adalah data primer yang bersumber dari 30 orang nelayan Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara yang juga sebagai peserta pelatihan Konservasi.

 C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui interview langsung 30 orang nelayan pesisir Desa Hakatutobu Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka dalam Focus Group Discussion (FGD), dan pengamatan objek dengan pengamatan langsung dan snorkelling untuk objek bawah air.

 D. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah pedoman FGD dan pedoman observasi

 E. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif menggunakan table frekuensi identifikasi sederhana tentang pergeseran base line sumberdaya dalam tahun, dan tabel identifikasi dampak dari kegiatan perikanan dan kegiatan non perikanan yang diisi oleh nelayan dengan nelayan dan pengamatan langsung pada objek pesisir menggunakan perahu dan camera bawah air serta alat snorkelling.


HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hakatutobu adalah wilayah pesisir dengan berbagai potensi alam yang besar. Di bagian darat desa ini terdapat bahan tambang nikel yang dikelola oleh banyak perusahaan tambang. Selain Antam (Aneka Tambang) tambang Hakatutobu dikelola juga oleh perusahaan tambang lain yakni PT. DRI (Darma Rosadi Internasional), PT. PMS (Putra Mekongga Sejahtera), PT. Akarmas (AMI), PT. Bola Dunia, dan PT. Toshida. Di perairannya, daerah ini memiliki potensi laut berupa teripang (omzet mencapai 40 juta per panen tahun 1982). Ikan julung omzet mencapai 1000 ekor/trip (1982) (H. Burman/pengepul hasil laut Hakatutobu). Rumput laut juga berlimpah dengan omzet mencapai 7 ton per bulan pada tahun 2004 sampai tahun 2007. Budidaya kerapu sunu pada keramba jaring apung menghasilkan 50 juta/unit 10m2 pada tahun 2010 sampai tahun 2014.

Dasar perairan merah karena sedimentasi           Potensi teripang mulai mengalami penurunan sejak tahun 1990 dan tahun 2000 sudah sangat menurun produksinya sampai 30% dan tersisa 30% disekitar tahun 2010 dan tinggal 10% saat ini (2015) karena tidak ada upaya  budidaya lagi. Karang yang padat mulai terganggu sejak tahun 1999 dan menjadi rusak setelah tahun 2000 dan saat ini (2010 ke atas) kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Pantainya mulai bergeser sejak tahun 2000an. Mangrove mulai berkurang tahun 1980 bermula sejak munculnya pemukiman penduduk. Sunu, kepiting, cumi-cumi, kima dan beberapa biota laut lainnya seperti japing, alga hijau, lamun berkurang sejak tahun 2000an. Hiu sering ditemukan memijah dipantai tahun 1980 dan tahun 2000 sudah mulai berkurang seiring dengan adanya penampungan gelondongan milik BMW kayu  pada spowning ground hiu. Penyu tahun 1970-1980 masih sangat banyak (10-20 ekor/hari) dan tahun 2000-2010 berkurang sampai 80% dan saat ini sudah sangat langka (1 ekor/tahun) oleh sedimentasi akibat limbah tambang, dan habis tahun 2015. Dulu pernah ada eksploitasi penyu oleh pengepul dari Bali yang sekaligus menangkap pari manu.

Karang dimanfaatkan untuk bangunan oleh masyarakat 1990 sampai 2000an dan tersisa 30%. Mangrove tersisa 50%, penyebabnya karena bakau jadi bahan bakar tambang (arang untuk pengganti batu bara untuk membakar nikel), yang dibeli dari masyarakat. Lamun (nambo, lokal red.) dulunya hijau bahkan ada yang berbuah, tahun 2000-2010 ruasnya tertutup lumpur (sedimentasi) sehingga tersisa 45% saat ini.

Kepiting tahun 2010 sudah menurun sejak beroperasinya pukat rajungan dan tersisa 10% saat ini. Japing/kakapes (sejenis kerang) yang dikenal menurunkan kadar kolesterol dan mengatasi diabetes tahun 2000 mulai berkurang 30% dan saat ini tersisa 15%. Penurunan populasi japing disebabkan oleh sedimentasi. Burungeng (siput) yang hidup di mangrove juga drastis mengalami penurunan sejak terjadinya sedimentasi.

Pari ayam (pari manu) yang jumlahnya sangat banyak, berkurang tahun 2000 sejak adanya sedimentasi, dan semakin berkurang sampai 50% dengan adanya dermaga untuk kapal-kapal tambang. Lobster juga dulunya melimpah dan berkurang sejak tahun 2000 dan sudah sangat langka saat ini selain karena limbah juga karena bius oleh nelayan. Duyung juga terdapat dulu tetapi sekarang tidak ada lagi.

Terjadi invasi spesies baru atau blooming alga yang dikenali masyarakat Hakatutobu dengan istilah lumut sutera yang mulai muncul sejak tahun 2000-an dan terus meningkat kepadatannya sampai saat ini. Alga asing ini ditengarai muncul bersamaan limbah tambang. Keberadaan alga tersebut sangat mengganggu masyarakat setidaknya dalam empat hal utama yakni budidaya rumput laut, menutupi karang, merusak propeller, dan mengganggu pengeporasian alat tangkap jaring.

Sedimentasi oleh limbah tambang di antaranya disebabkan oleh jebolnya ckeckdam penampungan limbah tambang Antam tahun 1985. Antam muncul tahun 1960. Hakatutobu mulai dihuni sejak tahun 1976 setelah sebelumnya hanya merupakan kebun. Pemekaran dari desa Tambea dan Sopura tahun 1999.

Dampak limbah tambang yang menimpa Hakatutobu juga menyebabkan jarak fishing ground nelayan juga semakin menjauh disebabkan karena perairan di sekitar pesisir mereka sudah sangat tercemar dan sebagian besar biota yang berkembangbiak di sana menjadi mati. Demikian halnya dengan tutupan mangrove sangat berkurang disebabkan sedimentasi yang tinggi menyebabkan kematian pada mangrove dan kesulitan untuk tumbuhnya anakan baru.

Masyarakat Hakatutobu mengalami dampak ekologi dan ekonomi sekaligus sebagai akibat dari limbah tambang tersebut. Masyarakat yang telah menjual perahu dan beralih profesi menjadi pekerja tambang pada akhirnya harus kehilangan pendapatan karena perusahaan tambang tempat mereka bekerja harus tutup akibat moratorium menteri ESDM terkait tambang. Masyarakat juga kesulitan kembali melaut karena alatproduksi mereka sudah dijual dan lingkungan perairannya sudah tidak produktif disebabkan karena pencemaran oleh limbah tambang. Sesungguhnya kondisi ini juga terjadi karena minimnya pengetahuan masyarakat nelayan akan strategi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Dahuri, dkk (2001) bahwa rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan kelautan secara berkelanjutan serta menguntungkan bagi rakyat, khususnya masyarakat peisir.

 

B. Pembahasan

Pergeseran base line yang terjadi di hampir semua wilayah pesisir yang dihuni oleh nelayan umumnya tidak terjadi secara alami tetapi disebabkan oleh banyak faktor. Faktor penyebab pergeseran base line bisa terjadi secara alami, tetapi pada umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Aktifitas yang dilakukan manusia dialndasai berbagai motivasi, yang secara garis besarnya dibagi dalam aktivitas perikanan dan aktivitas non perikanan.

 

  1. Pergeseran Base Line

            Base line atau garis dasar adalah kondisi sedia kala dari suatu lingkungan sebelum adanya perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut disebabkan oleh faktor alam atau akibat kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pengertian bahwa pergeseran base line adalah perubahan yang terjadi terhadap kondisi sedia kala dari suatu lingkungan. Pergeseran tersebut bisa berupa punahnya atau hilangnya suatu jenis spesies mahluk baik hewan atau tumbuhan, atau berkurangnya populasi dari jenis mahluk tertentu, atau bergesernya jarak sesuatu terhadap sesuatu yang lain misalnya pergeseran garis pantai, pergeseran daerah penangkapan ikan (range collapse) dan sebagainya.

Pergeseran base line bisa terjadi pada banyak jenis lingkungan, termasuk lingkungan perairan. Hal yang paling mudah dikenali dari pergeseran base line pada lingkungan perairan adalah berkurangnya spesies ikan tertentu atau biota perairan lainnya. Selain itu semakin berkurangnya tumbuhan pantai seperti berbagai jenis mangrove dan pohon yang tumbuh di pantai disertai semakin terkikisnya garis pantai oleh abrasi juga menjadi tanda yang paling umum terjadi pada hampir semua daerah perairan pantai.

Pergeseran base line umumnya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Karena pergeserannya yang perlahan, sehingga masyarakat yang ada cenderung kurang menyadari perubahan tersebut. Hal yang paling menjadi perhatian dari masayarakat atas sebuah perubahan adalah hal yang baru muncul sebagai akibat perubahan dan abai terhadap hal yang hilang. Ketika terjadi pembukaan lahan mangrove untuk pembangunan gedung atau jalan, maka yang terlihat adalah gedung atau jalan yang baru tersebut, alih-alih memperhatikan hilangnya kepiting bakau atau semakin dekatnya garis pantai ke pemukiman mereka.

Pergeseran base line akan lebih mudah terlihat jika masyarakat dari berbagai lapis generasi dikumpulkan dalam brainstorming menapaktilasi ingatan-ingatan terjauh mereka terhadap apa yang terjadi dan berubah dalam kurun waktu terjauh yang bisa terjangkau oleh ingatan mereka. Akan tercengang mereka demi menyadari bahwa bahwa banyak hal berubah tanpa mereka sadari. Keadaan demikian akan mudah mengantar mereka pada kesadaran pentingnya pelestarian sumberdaya lingkungan dengan mencegah kegiatan-kegiatan yang memacu perubahan yang negatif.

 

  1. Penyebab Pergeseran Base Line Ekosistem Pesisir

Faktor apa saja yang menjadi penyebab teradinya pergeseran garis dasar pada lingkungan? Secara garis besar terdiri atas faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam merupakan sesuatu kejadian yang tidak terencana dan tidak direkayasa serta tidak mampu dicegah karena terjadi secara alami, tetapi biasanya akan tercapai keseimbangan baru atau kembali ke keseimbangan lama setelah kejadian itu berlalu. Contoh faktor alam adalah gempa bumi, zunami dan sebagainya.

Pergeseran garis dasar yang disebabkan oleh faktor manusia, jenis dan jumlahnya banyak dan cenderung berefek negatif terhadap lingkungan. Contoh kegiatan manusia yang menyebabkan pergeseran garis dasar lingkungan perairan di antaranya :

  1. Penebangan pohon mangrove. Mangrove adalah jenis tumbuhan pantai yang berfungsi menahan ombak dan mencegah abrasi pantai. Mangrove ada berbagai jenis, ciri yang bisa dikenali dari tumbuhan ini di antaranya adalah akar nafas yang muncul dari dalam perairan atau akar rimpang. Mangrove menjadi habitat yang sangat baik untuk berbagai jenis biota perairan khususnya yang sesuai dengan perairan payau (antara asin dan tawar). Penebangan pohon mangrove dari dulu sudah dilakukan oleh umumnya penduduk pesisir untuk kepentingan kayu bakar dan bahan bangunan rumah mereka. Dewasa ini penebangan mangrove dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan tujuan pelebaran jalan, pembangunan gedung, lokasi budidaya ikan, maupun untuk perluasan wilayah pemukiman penduduk.
  2. Penebangan pohon pantai. Pohon pantai tidak hanya berupa mengrove tetapi terdapat berbagai jenis pohon yang tumbuh subur dan ikut menjadi penyangga garis pantai dan menjadi habitat bagi berbagai organisme. Sama halnya dengan mangrove, tujuan penebangan pohon pantai umumnya untuk digunakan pada bangunan rumah dan kayu bakar. Perluasan lahan budidaya seperti tambak dan empang di pesisir juga mengakibatkan penebangan pohon pantai dalam jumlah banyak
  3. Pengambilan karang dilakukan secara masiv di hampir setiap pesisir yang dihuni oleh nelayan untuk kepentingan tertentu. Ada masyarakat yang mengambil krang untuk pembangunan rumah berupa pondasi maupun dinding rumah batu, untuk hiasan taman bahkan untuk dijual. Pengambilan karang juga dilakukan oleh nelayan penjual ikan hias, disebabkan karena sebagian ikan hias berada pada sela-sela karang sehingga untuk mengambilnya nelayan memotong karang dan membawanya ke daratan. Pengambilan karang juga dilakukan oleh nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan bubu, karang digunakan sebagai pemberat untuk menindih bubu agar tidak hanyut terbawa arus.
  4. Penangkapan ikan dengan alat yang merusak adalah faktor yang paling dominan menyebabkan pergeseran base line karena itu terjadi hamper setiap hari sepanjang musim penangkapan dan dilakukan oleh banyak nelayan. Alat tangkap yang termasuk merusak termasuk di antaranya trawl atau pukat harimau serta pengoperasian jaring dengan mata kecil. Jarring bermata kecil merusak karena menyebabkan banyaknya ikan kecil yang tertangkap dan hanya menjadi discard atau tangkapan yang dibuang, serta adanya biota-biota penting perairan non target yang ikut tertangkap seperti duyung, lumba, dan penyu. Selain jarring bermata kecil ukuran 1 inci, penangkapan yang merusak juga disebabkan oleh penggunaan bom, potassium dan sianida.
  5. Cara penangkapan ikan yang merusak. Selain alat yang merusak seringkali cara penangkapan ikan juga merusak biota perairan, di antaranya bameti dan balobe. Bameti adalah istilah untuk kegiatan mencari biota perairan pada daerah pasang surut yang kering pada saat air surut. Bameti merusak karena masyarakat sering menggunakan benda keras untuk mencungkil karang agar bisa mendapatkan kerang atau kepiting yang diinginkan. Selain bameti, nelayan di kawasan timur Indonesia juga mengenal istilah balobeh atau memburu ikan dengan tombak atau panah. Adakalanya nelayan memburu ikan sambil berenang tetapi lebih sering dengan berpijak pada karang sehingga menyebabkan karang patah dan rusak. Maka bameti dan balobe bisa dikategorikan cara penangkapan yang merusak.
  6. Pembuangan sampah pada perairan banyak dilakukan oleh penduduk pesisir di hamper semua daerah pesisir. Hal ini seperti sudah membudaya di masyarakat sehingga sampah menjadi ciri khas lingkungan pesisir dan laut. Laut dan pantai seperti tempat pembuangan sampah paling efektif dan luas. Kurangnya fasilitas pengolahan sampah di pesisir juga ikut memberi justifikasi bahwa sampah bisa di buang di mana saja di pesisir pantai. Sebagian besar sampah yang dibuang cenderung akan merusak lingkungan dan menimbulkan polusi. Lebih parah lagi jika sampah tersebut didominasi sampah plastic yang sulit diurai. Sampah menjadi kendala dalam pengembangan wilayah dan sampah menjadi tantangan utama pengembangan wilayah pesisir yang akan dikembangkan menjadi objek wisata.
  7. Reklamasi/penimbunan pantai pada 10 tahun terakhir banyak menjadi warna pembangunan kota-kota pesisir di tanah air. Keterbatasan lahan untuk perluasan kota menyebabkan ide penimbunan laut menjadi daratan banyak dilakukan pemerintah daerah yang wilayah kota administratifnya berada di peisir pantai. Reklamasi pantai akan menyebabkan perubahan ekosistem pesisir pantai yang menjadi objek reklamasi. Ruwaya ikan akan berubah dan seluruh biota sesil akan mati disebabkan penimbunan pantai.
  8. Pengambilan berbagai jenis biota unik/langka banyak dilakukan nelayan dengan motivasi ekonomi dan sebagian untuk konsumsi. Biota menjadi langka diantaranya disebabkan oleh produktivitas dan survival rate biota tersebut rendah, juga karena biota tersebut mengalami eksploitasi yang tinggi. Eksploitsi yang tinggi terhadap biota tertentu disebabkan oleh permintaan pasar yang tinggi sehingga masyarakat memburu biota tersebut meskipun sudah masuk status langka dan dilindungi.
  9. Aktivitas pertambangan di pesisir atau pertambangan yang limbahnya sampai di pesisir. Limbah tambang yang masuk ke perairan menyebabkan berbagai organisme tidak mampu bertahan hidup karena perubahan lingkungan. Sebagian organisme bertahan dan melakukan adaptasi tetapi mengalami kematian. Limbah tambang juga menyebabkan munculnya spesies baru yang berbeda dengan spesies asli. Spesies infasif akan bersaing dengan spesies asli dan mengakibatkan perubahan rantai makanan.
  10. Perluasan pemukiman pesisir. Pembangunan rumah-rumah nelayan atau penduduk di atas sepadan pantai berakibat pada tersingkirnya berbagai organisme yang memanfaatkan sepadan pantai untuk mencari makan dan beraktivitas. Penyu misalnya yang biasanya naik ke pasir pantai bertelur menjadi terhalangi ketika pada daerah tersebut telah dibangun pemukiman atau rumah di atasnya.
  11. Penambangan pasir. Aktivitas yang umum terlihat di pantai adalah pengambilan pasir oleh penduduk untuk berbagai tujuan pembangunan fisik di darat. Akibat yang ditimbulkannya terhadap struktur pantai ternyata tidaklah sedikit. Penambangan pasir yang berlangsung lama mengakibatkan penurunan ketinggian pasir di bibir pantai yang berakibat pada bertambahnya kekuatan ombak yang menghantam pantai karena pasir yang menghalangi ombak sudah sangat berkurang. Pohon pantai juga banyak yang tumbang karena komposisi pasir tempatnya tumbuh menjadi hilang. Demikian halnya dengan biota yang menghuni sempadan pantai tersebut.

 

 

 PENUTUP

A. Simpulan

Terdapat berbagai penyebab terjadinya pergeseran base line yang pada umumnya disebabkan aktivitas manusia. Aktivitas tersebut berupa kegiatan yang bertujuan untuk perikanan dan kegiatan yang tujuannya non perikanan. Aktivitas yang berdampak pada di antaranya penangkapan ikan dengan alat yang merusak, penangkapan ikan dengan alat yang merusak, penangkapan biota langka/dilindungi, pengambilan karang, penebangan mangrove dan pohon pantai, penambangan pasir, pembuangan sampah di pantai dan laut, limbah tambang yang sampai di pantai, pemukiman di atas sepadan pantai dan reklamasi/penimbunan pantai.

Pergeseran base line di Desa Hakatutobu berdasarkan hasil FGD dengan masyarakat nelayan setempat dan hasil pengamatan langsung disebabkan oleh limbah tambang nikel dari beberapa cekdam penampungan limbah tambang perusahaan tambang di daerah tersebut sehingga menimbulkan sedimentasi pada perairan. Pergeseran yang terjadi di antaranya hilangnya berbagai jenis biota perairan yang menjadi andalan produksi nelayan Hakatutobu seperti teripang, lobster, udang, berbagai jenis ikan, terumbu karang dan berkurangnya vegetasi mangrove dan lamun serta sulitnya reboisasi mangrove. Berbagai spesies asli digantikan oleh spesies invasive yang sangat merugikan nelayan dan penduduk Hakatutobu.

Dampak dari pergeseran base line yang dialami oleh masyarakat Hakatutobu adalah penurunan pendapatan masayarakat dan hilangnya beberapa mata pencaharian nelayan di pesisir di sebabkan oleh rusaknya ekosistem perairan di wilayah tersebut. Jarak fishing ground nelayan menjadi jauh karena perairan di dekat pemukiman mereka tidak produktif karena tercemar serta potensi budidaya ikan, teripang dan beberapa spesies andalan tidak bisa lagi dilakukan. Nelayan yang pada umumnya beralih profesi menjadi penambang juga kehilangan pekerjaan sama sekali karena ketika perusahaan tambang banyak yang tutup, asset berupa perahu untuk melaut pun sudah tidak mereka miliki lagi.

 

B. Saran

Pengelolaan wilayah pesisir harusnya mengkalkulasi besar kecilnya damapak yang akan terjadi baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang atas setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masayarakat harus dibangun agar sedapat mungkin pergeseran base line sedini mungkin bisa diminimalisir agar masyarakat bisa memperoleh sebesar-besarnya manfaat yang diberikan oleh lingkungan pesisir dan laut secara berkelanjutan. Regulasi yang berhubungan dengan pengelolaan pesisir dan laut harus menitikberatkan pada aspek konservasi pesisir dan laut agar kegiatan pembangunan yang dilakukan baik pemerintah pusat maupun daerah tidak kontra produktif dengan upaya menjaga dan melestarikan seumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan rakyat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, dkk. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Peissir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Terangi. 2005. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia, Jakarta Selatan.

Menetapkan Batas Perubahan yang Dapat Diterima

Pembangunan berkelanjutan mengharuskan adanya pembaruan-pembaruan strategi pengelolaan, terkait teknologi yang digunakan, metode yang diterapkan, dan juga kebijakan-kebijakan yang diberlakukan, sebab inti keberlanjutan terletak pada bagaimana strategi pengelolaan senantiasa tepat sasaran dalam waktu dan kondisi yang terus berubah (Agussalim).

  1. Pendahuluan

Pelabuhan DoboPembangunan kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat yang merupakan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memadukan konsep pengelolaan sumberdaya agar memiliki daya saing dan pengelolaan yang berkelanjutan. Visi ini menjadi solusi ditengah banyaknya model pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang cenderung hanya mengeksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya. Bahkan banyak pula yang mengeksploitasi sumberdaya dengan pengetahuan dan keterampilan tentang mutu yang kurang sehingga produk yang seharusnya bernilai tinggi tetapi tidak mampu bersaing dipasaran karena mutunya yang sudah jauh menurun. Misalnya para nelayan penangkap tuna yang masih melakukan proses loin di atas bodi yang cenderung tidak higienis sehingga tuna yang seharusnya bisa diekspor malah hanya dijual dipasar lokal atau dinilai dengan harga yang rendah. Atau penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan potassium atau bom yang sangat merusak habitat ikan sehingga tidak bisa lestari untuk dinikmati masa-masa berikutnya.

Dewasa ini salah satu model pengelolaan perikanan adalah dengan adanya system zonasi dalam kawasan-kawasan perairan yang memungkinkan untuk pembatasan eksploitasi dalam upaya perlindungan sumberdaya agar tetap lestari disamping tetap memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Meskipun belum semua kawasan perairan di Nusantara menerapkan pola pengelolaan semacam itu, tetapi paling tidak sudah bisa menjadi percontohan bagi kawasan perairan lainnya untuk menerapkan model pengelolaan yang sama. Contoh kawasan yang menerapkan model konservasi perairan adalah di Raja Ampat, Nusa Penida, Gili Matra, Anambas, dan beberapa daerah perairan lain yang sedang dalam persiapan.

Pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan keterlibatan para pemangku kepentingan, agar manajemennya bisa berjalan dengan baik. Selain itu pengelolaan kawasan juga sebaiknya memiliki nilai-nilai yang ditetapkan pada indikator-indikator sumberdaya yang terdapat dalam kawasan konservasi sehingga memudahkan upaya pemantauan. Dari indikator sumberdaya yang ada bisa ditetapkan bersarnya nilai standar sumberdaya yang dianggap baik kondisinya dan akan menjadi patokan pemantauan bagi pengeola apakah kondisi sumberdaya berada dalam kategori baik, rentan atau kritis. Selain nilai standar, terdapat nilai di bawah standar yang dikenal dengan batas perubahan yang bisa diterima atau menerima perubahan yang tidak dapat dihindari tetapi menetapkan batas tingkat perubahan dapat diterima, yang kemudian dikenal dengan istilah LAC atau limit of acceptable change.

Melalui penetapan nilai standar dan nilai LAC dari indikator sumberdaya yang terdapat dalam kawasan konservasi perairan ataupun kawasan perairan yang ingin dijaga keberlanjutan suberdayanya maka upaya pemantauan sumberdaya bisa dilakukan. Dengan nilai standard an LAC, upaya pencegahan kerusakan sumberdaya pada tingkat yang parah bisa dihindari karena adanay patokan nilai yang harus dijaga dan menjadi sejenis alarm kepada pengelola. Tulisan ini mencoba menguraikan secara sederhana tentang pentingnya membuat nilai-nilai pada sumberdaya dan menetapkan standard an LAC untuk menjaga agar upaya pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan bisa tetap lestari disamping pengambilan manfaatnya.

  1. Limit of Acceptable Change (LAC)

LAC atau batas perubahan yang bisa diterima adalah kondisi terakhir/batas yang bisa ditoleransi atas dampak perubahan kondisi sumberdaya. Hal itu berarti kondisi ini bukan kondisi ideal yang distandarkan untuk suatu sumberdaya, tetapi merupakan pembatas antara kondisi yang bisa diterima dengan kondisi yang tidak bisa diterima akibat perubahan. Nilai ini menjadi sejenis lampu merah bagi para pengelola kawasan bahwa perubahan yang lebih jauh akan menyebabkan kerusakan sumberdaya yang sulit untuk recovery atau pulih lagi dalam waktu yang cepat. Batas perubahan ini ditetapkan dalam nilai yang terukur, sehingga mudah untuk dikontrol.

Mengadopsi konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan yang menitikberatkan perhatian pada kelestarian sumberdaya, tulisan ini mencoba menerapkan konsep LAC  dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam pengelolaan sumberdaya pada pariwisata berkelanjutan dikenal istilah LAC atau limit of acceptable change. LAC mencoba untuk menentukan berapa banyak perubahan yang dapat diterima sebagai akibat dari kunjungan tersebut dan bagaimana mengatasinya. LAC membantu dalam menentukan ruang lingkup, tingkat keparahan, dan penyebab masalah idealnya sebelum berubah menjadi tidak dapat diterima. LAC mendorong pengelola untuk menilai berbagai alternative daripada hanya terpaku pada satu solusi. LAC merupakan sebuah sistem yang fleksibel yang dapat disesuaikan dengan ekologi, keanekaragaman hayati tertentu, maupun pertimbangan sosial-budaya yang ada di setiap kawasan, (Anonim, 2014).

Proses LAC pada awalnya dikembangkan oleh Dinas Kehutanan Amerika Serikat untuk dipergunakan dalam habitat teresterial hutan. Pada saat ini, proses tersebut sudah dipergunakan secara luas dalam berbagai lokalitas, termasuk dipergunakan dalam pengelolaan taman laut. Taman Nasional Afrika Selatan juga telah mengembangkan metode yang sama, berdasarkan istilah “Ambang batas Potensi Yang Dikhawatirkan/cemaskan” untuk menentukan kapan intervensi pengelolaan diperlukan dalam situasi tertentu (Anonim, 2014).

Logika dasar dari proses LAC ada enam (dikutip dari Buku Pegangan VERP, 1997 dalam Anonim, 2014) hal yaitu :

  1. Mengidentifikasi dua tujuan utama yang saling bertentangan
  2. Menetapkan bahwa kedua tujuan utama tersebut harus dikompromikan
  3. Tentukan tujuan utama mana yang pada akhirnya akan membatasi tujuan yang lain
  4. Menyusun standar LAC bagi tujuan utama yang sifatnya menghambat
  5. Kompromi tujuan utama ini hanya hingga standar LAC telah tercapai
  6. Kompromikan tujuan lain sebanyak yang diperlukan
  7. Mengidentifikasi dua tujuan utama yang saling bertentangan. Dalam kasus kawasan konservasi perairan, dua sasaran tersebut umumnya adalah perlindungan terkait dengan kondisi lingkungan dan kelestarian ekosistem dan sumberdaya yang terdapat di dalamnya (tujuan 1) dan akses tidak terbatas ke sumber daya untuk pemanfaatannya oleh masyarakat misalnya penangkapan ikan (tujuan 2). Dua tujuan yang bisa saling bertentangan adalah jika suatu lokasi merupakan daerah penangkapan ikan yang potensial tetapi juga merupakan daerah pemijahan ikan. Dari dua kepentingan besar tersebut pengelola kawasan konservasi harus mampu melihat dua hal tersebut dan mampu memprioritaskan tujuan mana yang harus diutamakan. Atau contoh lainnya misalnya pada perlindungan sumberdaya terumbu karang, tetapi daerah tersebut merupakan lokasi kunjungan para penyelam atau objek pemancing ikan karang.
  8. Menetapkan bahwa kedua tujuan utama tersebut harus dikompromikan. Jika satu atau tujuan utama lainnya tidak dapat dikompromikan, maka proses LAC tidak diperlukan – satu tujuan utama hanya harus dikompromikan seperlunya untuk memenuhi salah satu tujuan lain yang tidak dapat dikompromikan. Dari contoh kasus konservasi pada poin satu di atas, misalnya bahwa daerah penijahan tidak bisa dikompromikan karena tidak bisa atau sulit dipindahkan ke daerah lain, maka yang harus dikompromikan adalah penangkapan ikan di daerah tersebut harus di batasi atau malah dilarang sama sekali (dengan menjadikan wilayah perairan tersebut sebagai zona inti). Atau pada kasus sumberdaya terumbu karang, bahwa sumberdaya terumbu karang tidak bisa dikompromikan karena kerusakannya bisa berlangsung lama dan sulit untuk pulih kembali sehingga yang harus dikompromikan adalah minat para penyelam atau para pemancing apakah dengan melarang kegiatan tersebut atau membatasinya.
  9. Tentukan tujuan utama mana yang pada akhirnya akan membatasi tujuan yang lain. Dalam kasus kawasan lindung, tujuan utama untuk melindungi kondisi lingkungan dan pengalaman pengunjung akan hampir selalu membatasi tujuan akses yang tak terbatas. Pada kasus konservasi di atas, tujuan utama menjaga keletarian sumberdaya dengan memproteksi daerah pemijahan ikan tersebut akan membatasi upaya penangkapan ikan di wilayah itu. Juga upaya menjaga kelestarian terumbu karang membatasi kegiatan penyelaman dan pemancingan ikan karang di wilayah tersebut.
  10. Menyusun standar LAC bagi tujuan utama yang sifatnya menghambat. Standar LAC harus menunjukan kondisi minimal yang dapat diterima oleh lingkungan dan pihak yang mengambil manfaat. Dengan menyusun standar LAC pada suatu kawasan, maka bisa ditetapkan aturan pengelolaan yang sifatnya menghambat, yang satu sisinya memberi kemampuan recovery sumberdaya (ikan mampu memijah dengan baik, atau tutupan karang bisa bertumbuh dengan baik) dan disisi lain kepentingan nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan bisa terpenuhi atau para penyelam atau rekreasi pancing tetap dapat menikmati indahnya ikan-ikan karang. Maka dalam kasus pertama ini bisa diterapkan pembatasan penangkapan ikan dengan waktu, ukuran tangkap, jumlah tangkapan, dan alat tangkap. Dan pada kasus kedua dengan pembatasan jumlah penyelam, waktu penyelaman, standar sertifikat penyelam, ukuran pancing, jumlah pemancing, jumlah tangkapan, atau ukuran ikan yang boleh dipancing.
  11. Kompromi tujuan utama ini hanya hingga standar LAC telah tercapai. Memperbolehkan terjadi penurunan kondisi lingkungan dan manfaat yang bisa dinikmati oleh nelayan, atau penyelam atau pemancing hingga pada standar minimal yang dapat diterima. Akses nelayan tidak boleh secara substansial dibatasi hingga mencapai standar yang ditetapkan. Demikian juga akses penyelam dan pemancing ikan tidak boleh dibatasi sepanjang sumberdaya berada pada kondisi baik di atas standar yang ditetapkan. Pembatasan penangkapan ikan, penyelaman, atau pemancingan untuk rekreasi ini bisa berubah ketika kondisi kelimpahan sumberdaya telah mencapai standar LAC.
  12. Kompromikan tujuan lain sebanyak yang diperlukan. Setelah standar untuk kondisi lingkungan dan nelayan tetap bisa mendapatkan hasil tangkapan, penurunan tidak lagi diperbolehkan terjadi pada kelimpahan sumberdaya pada daerah pemijahan, dan akses penangkapan akan dibatasi seperlunya untuk mempertahankan standar kelimpahan sumberdaya ikan pada area tersebut.

Melihat logika dasar dari proses LAC dengan cara seperti ini sangat membantu berdasarkan beberapa alasan. Pertama, cara berpikir seperti ini menggambarkan bahwa tantangan mendasar dalam penggunaan lokasi penangkapan oleh nelayan tidak begitu banyak memberikan jalan keluar terhadap konflik yang dihadapi antara melindungi sumber daya dan eksploitasi oleh nelayan. Sebaliknya, penekanan harus dilakukan pada mendefinisikan peluang daerah penangkapan lain yang berasal dari pengalaman yang dialami oleh  nelayan dan kondisi sumber daya, dan kemudian menentukan sejauh mana batas area pemijahan ikan dapat diakomodasikan. Kedua, logika ini memungkinkan pengelola untuk memberlakukan akses tidak terbatas – nilai yang harus dipatuhi oleh nelayan – adalah tujuan yang valid, tetapi tidak dapat diterapkan dengan bobot yang sama karena adanya keanekaragaman pengalaman yang dialami oleh nelayan dan perlindungan terhadap sumber daya.  Ketiga, pemahaman tentang proses berpikir generik sangat membantu dalam memahami bagaimana berbagai kerangka kerja dapat disesuaikan atau diberlakukan dalam situasi yang berbeda tanpa kehilangan unsur-unsur penting dari kerangka kerja tersebut. Keempat, karena sudah ada minat dari pihak pengelola untuk menerapkan proses LAC yakni untuk mengatasi masalah selain daya dukung, maka pengujian proses generic dapat membantu untuk menentukan situasi Kades Durjela Dobo Melepas Penyu ke Lautkapan aplikasi tersebut dapat bermanfaat dan pada situasi mana menjadi tidak bermanfaat.

 

  1. Indikator, Standar, LAC dan Upaya Pemantauan

Sumberdaya kelautan dan perikanan yang terdapat dalam area-area yang dikelola secara terencana agar mampu dikendalikan harus menetapkan indikator, nilai standar dan nilai perubahan yang bisa diterima (LAC). Melalui nilai yang ditetapkan itu maka selanjutnya pengelola bisa melakukan pemantauan dengan baik dan terencana sehingga kerusakan sumberdaya bisa dicegah.

Indikator adalah variable yang menjadi patokan penilaian sumberdaya. Pada ekosistem terumbu karang misalnya, indikator yang bisa dinilai adalah tutupan karang. Pada ekosistem mangrove atau padang lamun indikator yang bisa ditetapkan adalah luasan vegetasi mangrove atau padang lamun. Bisa juga menggunakan indikator jumlah dan jenis vegetasi. Pada spowning ground indikatornya bisa berupa kelimpahan ikan atau ukuran-ukuran ikan pada area spowning ground tersebut.

Menurut Anonim (2014) indikator harus ditentukan sebagai parameter dalam melihat isu-isu penting di lokasi tertentu dalam zona tertentu. Indikator tersebut harus berkaitan langsung dengan kegiatan pengelolaan yang dapat dikontrol. Pertanyaan-pertanyaan berikut membantu ketika mengidentifikasi indikator:

  1. Apakah indikator dapat memberitahu kepada kita apa yang kita ingin kita ketahui? Pertanyaan apa yang akan dijawab?
  2. Apakah indikator berhubungan langsung dengan kondisi sosial atau ekonomi dari sumber daya utama (penting)?
  3. Dapatkah indikator diukur dengan mudah dan dengan biaya yang relatif murah?
  4. Dapatkah indikator tersebut memberikan peringatan kepada pengelola ketika kondisi sumber daya mengalami penurunan sebelum mencapai batas yang tidak dapat diterima?
  5. Dapatkah indikator diukur tanpa mempengaruhi kegiatan pengelolaan?
  6. Akankah indikator memberikan informasi yang sepadan dengan waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkannya?
  7. Siapa yang akan melakukan pemantauan?

Tim Penilai Kapasitas KKPD KaimanaStandar adalah besaran nilai yang ditetapkan untuk indikator-indikator. Nilai tersebut bisa dibuat dalam angka atau persentase. Misalnya nilai standar untuk tutupan karang di area A sebesar 90%, artinya kondisi sumberdaya terumbu karang dengan tutupan 90% dianggap ideal untuk partumbuhan karang tetap sehat. Nilai standar vegetasi mangrove sebesar 80% pada area B, berarti luasan itu dianggap ideal untuk mempertahankan daya dukung lingkungan ekosistem mangrove area tersebut dan kemampuannya untuk pulih kembali atas tekanan yang terjadi terhadap sumberdaya mangrove. Standar bisa terdiri atas beberapa kategori seperti standar fisik, biologi, sosial dan sebagainya.

Nilai LAC adalah nilai yang ditetapkan sebagai nilai kritis atau batas perubahan yang bisa diterima akibat adanya tekanan pada sumberdaya. Nilai LAC bergandengan dengan nilai standar sumberdaya. Misalkan nilai LAC untuk terumbu karang pada area A sebesar 85% berarti kondisi 85% tutupan karang pada area tersebut adalah ambang batas perubahan yang bisa diterima dan harus segera dilakukan upaya menaikkan tutupan karang hingga mencapai nilai standar bahkan di atas nilai standar. Oleh karenanya nilai standar untuk kasus seperti ini lebih besar dibanding nilai LAC, atau kondisi standar adalah lebih baik dibanding kondisi LAC.

Misalkan nilai LAC vegetasi mangrove suatu area sebesar 75% maka nilai standarnya berada diatas angka tersebut yakni 80% atau 85%, tergantung kondisi yang dianggap wajar dan kondusif untuk kelestarian sumberdaya mangrove pada area tersebut. Jika sebuah perubahan mencapai nilai standar sumberdaya maka itu merupakan lampu kuning agar pengelola berupaya menghambat perubahan dengan mengidentifikasi faktor penyebab perubahan dan melakukan upaya-upaya preventif. Dan jika kondisi sumberdaya berada pada nilai LAC maka itu merupakan lampu merah dimana semua faktor penyebab perubahan yang merusak sumberdaya harus segera dihentikan atau pengelola melakukan segala upaya yang bisa membuat kerusakan sumberdaya tidak berlanjut.

Untuk mengidentifikasi kesesuaian perubahan kondisi sumberdaya dengan nilai standar dan nilai LAC maka harus dilakukan upaya pemantauan terhadap indicator yang dinilai. Pemantauan yang baik jika dilakukan dengan terencana, misalnya dilakukan secara periodik oleh-oleh orang-orang yang telah ditentukan. Pemantauan akan optimal jika pemantau memahami indikator-indikator sumberdaya dan besaran nilai yang ditetapkan. Selain itu ketepatan waktu pemantauan juga membantu pengelola dalam pengambilan keputusan pengelolaan, mislnya tindakan pencegahn atau penghentian aktivitas tertentu pada area tersebut. Berikut contoh tabel indikator, standar, LAC dan pemantauan yang dimodivikasi dari tabel LAC Anonim (2014):

Sumber Daya Indikator LAC Standar Rencana Pemantauan
Standar Biologis Standar Fisik
Terumbu karang tutupan karang hidup

 

70% tutupan karang hidup Presentasi tutupan karang 80% Jumlah kerusakan karang  oleh pemancing Pemantauan terumbu karang dengan metode manta tow, transek.

Laporan dari penyelam dan nelayan.

 

4. Pelibatan Stakeholder Dalam Penentuan Batas Perubahan yang Bisa Diterima (LAC)

Aspek kunci dari proses LAC adalah melibatkan para pemangku kepentingan. Standar dan indikator, dan tindakan, ditentukan dalam pertemuan partisipatif dengan para pemangku kepentingan. Stakeholder tidak hanya diberikan informasi tentang indikator dan standar; mereka turut membantu untuk memutuskan. Pengalaman dari mereka yang pernah terlibat dalam mengembangkan dan memodifikasi proses LAC menunjukkan bahwa keterlibatan pemangku kepentingan sangat penting.

menggali kebutuhan masyarakatAda dua metodologi yang sangat baik yang dapat dipergunakan untuk memantau dampak yang diakibatkan eksploitasi: “mengukur keberhasilan” dan  “batas perubahan yang dapat diterima”.  Seperti yang telah disebutkan di atas, batas perubahan yang dapat diterima (LAC) telah berkembang, khususnya untuk memungkinkan sumberdaya mengatasi kekurangan dalam konsep daya dukung dan kemampuan sumberdaya untuk pulih kembali (recovery), meskipun juga telah diterapkan pada situasi pengelolaan sumber daya yang lebih umum. Mengukur Keberhasilan dapat diterapkan bagi setiap tahapan perencanaan pengelolaan, dan tidak hanya terbatas untuk kawasan konservasi, dan yang terutama tergantung pada penetapan tujuan yang dapat dengan mudah dipantau, (Anonim, 2014).

Seperti yang telah diuraikan di atas, LAC menerima perubahan yang tidak dapat dihindari tetapi menetapkan batas tingkat perubahan dapat diterima. Untuk menerapkan metodologi LAC, pengelola kawasan konservasi perairan perlu berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) untuk menentukan visi bersama tentang kondisi seperti apa yang dapat diterima oleh suatu kawasan; tentukan indikator dan standar yang terkait dengan jumlah perubahan yang dianggap oleh pemangku kepentingan tidak dapat diterima di kawasan tersebut; dan secara terus menerus melakukan pemantauan untuk menilai dampak eksploitasi terhadap standar yang telah ditentukan sebelumnya.

Jika indikator menunjukan ambang batas penerimaan yang telah disepakati telah terlampaui, maka pengelola harus mengambil tindakan untuk mengurangi dampak negatif. Pendekatan LAC mendorong pengelola untuk mengatasi dampak tersebut dengan pengelolaan yang lebih rinci dan cermat terhadap keseluruhan daya dukung. Selain itu, dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dalam menetapkan batas-batas perubahan yang dapat diterima, maka pengelola dapat memperoleh lebih banyak kredibilitas ketika mereka mengajukan atau memerlukan perubahan pengelolaan yang mempengaruhi orang lain, seperti ketua adat, kelompok nelayan, tokoh masyarakat, penyuluh, operator wisata, pemandu  wisata, dinas terkait dan warga masyarakat.

 

5. Kesimpulan

Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan tidak cukup dengan perencanaan pengelolaan yang tidak memasukkan penatapan nilai LAC (limit acceptable change) atau batas perubahan yang bisa diterima. Dengan menetapkan nilai LAC maka pengelola memiliki ukuran standar perubahan sumberdaya yang dieksploitasi sehingga tidak sampai rusak sama sekali. Ukuran perubahan tersebut dinilai melalui pemantauan indikator-indikator sumberdaya yang dikelola. Penetapan nilai LAC sangat berguna baik untuk pengelolaan kawasan konservasi perairan ataupun kawasan yang ingin dijaga kelestariannya. Indicator sumberdaya, nilai standar sumberdaya dan nilai LAC ditetapkan terhadap sumberdaya yang ingin dijaga kelestariannya disamping tetap memperoleh manfaat pengelolaannya.

Penetapan indikator, nilai standar dan nilai nilai LAC idealnya melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) sumberdaya yang dikelola. Dengan pelibatan stakeholder maka indicator yang dinilai akan lebih tepat, standar yang ditetapkan realsistis dan nilai LAC adalah kondisi yang bisa dihindari dan merupakan nilai yang tepat untuk upaya pelestarian sumberdaya. Pelibatan stakeholder juga akan sangat memudahkan upaya pemantauan, sebagai bagian vital pengkoreksian nilai-nilai yang ditetapkan berdasarkan perubahan yang terjadi terhadap sumberdaya. Dengan pemantauan yang periodik yang dilakukan secara konsisten, maka perubahan sumberdaya akan tetap bisa dikenali dan dapat dikendalikan.

Menerapkan LAC pada pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan akan sangat membantu upaya pelestarian sumberdaya di tengah kegiatan eksploitasi yang terus berlangsung. Nilai LAC yang disepakati akan menjadi rambu bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan baik pengelola kawasan, nelayan, pemerintah, pelaku wisata, masyarakat umum dan siapapun yang memiliki akses terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan. Dengan demikian visi pembangunan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan akan lebih mudah terwujud jika dalam setiap upaya eksploitasi ada standar-standar yang tidak boleh dilewati. Dan kesejahteraan masyarakat akan lebih mudah terwujud. Semoga…

 

 

 

REFERENSI :

Anonim, 2014. Materi Pelatihan Pariwisata Berkelanjutan di Dalam Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. NOOA, USA.

 

Melihat Kearifan Konservasi di Haruku

Menanam mangrove di HarukuHaruku adalah salah satu pulau di Maluku Tengah yang terdiri atas beberapa desa/kampung, dan dihuni oleh dua komunitas agama yakni Muslim dan Kristen. Yang menarik di Haruku adalah adanya dewan adat yang dikenal dengan nama “Kewang”. Kewang mengawal pelaksanaan sasi dan sejumlah kegiatan adat lainnya di Haruku. Kewang dikepalai oleh seorang Kepala Kewang, dan menempati Rumah Kewang yang khas. Kepala Kewang di Haruku adalah Bapak Elly Kakisyina, seorang penggiat konservasi lingkungan berbasis budaya dan kearifan lokal Maluku. Beliau adalah seorang yang sangat dikenal di Maluku baik oleh praktisi akademik maupun pemerhati lingkungan. Berbagai kiprah beliau dituliskannya dalam sebuah buka berisi bait-bait pantun yang diberinya judul Kapata.

Bersama Bpk Eli KakisyinaMengunjungi Haruku tak jauh bedanya dengan studi banding konservasi, karena di Haruku terdapat kearifan lokal yang sangat terkenal yakni “Sasi Lompa”, yang dikenal masyarakat jauh sebelum instilah konservasi diperkenalkan oleh dunia pendidikan. Selain Sasi Lompa, Kepala Kewang Haruku juga aktif melakukan reboisasi mangrove pada wilayah pesisir Haruku, menangkarkan maleo dan membantu penetasan penyu serta membawanya ke laut. Kewang Haruku juga berfungsi melindungi hutan pada lahan atas, serta menjaga terumbu karang pada dasar perairan.

 

Tujuh Kategori Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Ditulis Oleh : Agussalim, S.Pi*)

 I. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Kawasan konservasi Perairan atau sering disingkat dengan KKP menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/MEN/2010 adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Pengelolaan kawasan perairan dengan cara konservasi merupakan bentuk kearifan dalam pengelolaan. Kearifan dalam mengelola alam sesungguhnya sudah menjadi ciri dari bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Hal itu ditandai dengan adanya berbagai kearifan lokal di berbagai daerah di tanah air yang merupakan peninggalan beberapa lapis generasi terdahulu yang masih lestari hingga saat ini. Di antaranya kita mengenal sasi di Maluku dan Papua, Panglima Laot di Aceh, lubuk larangan di Sumatera, kelong di Batam, mane’e di Sulawesi Utara, awig-awig di Lombok, dan bahkan terdapat berbagai kearifan lokal yang berlaku dalam cakupan wilayah yang kecil di berbagai wilayah di Nusantara. Hal itu berarti konservasi sebagai sebuah kearifan dalam pengelolaan bukanlah hal yang baru, tetapi merupakan wajah kearifan masyarakat dalam konteks modern yang dibingkai dalam aturan hukum negara.

Indonesia mencanangkan memiliki kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Sampai saat ini tercatat sudah sekitar 15 juta Ha kawasan konservasi dan terus dilakukan upaya untuk meningkatkan jumlah luas tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya luas wilayah kawasan konservasi perairan secara keseluruhan, pemahaman tentang pengelolaan kawasan konservasi yang ideal juga semakin berkembang. Hingga saat ini dikenal adanya beberap kategori yang menandai ideal tidaknya suatu kawasan konservasi baik nasional, atau daerah.

Terdapat tujuh kategori ideal kawasan konservasi perairan yakni perencanaan dan disain kawasan, pelibatan stakeholder, keatuhan dan penegakan hukum, kepatuhan dan penegakan hukum, monitoring dan evaluasi, pengembangan ekonomi berkelanjutan, operasional lapangan, serta manajemen administrasi dan keuangan. Mengetahui kategori tersebut membantu pengelola untuk mengidentifikasi kondisi yang terdapat pada KKP tentang apa yang kurang atau perlu dibenahi dan dikembangkan.

 

b. Tujuan

Tulisan ini ditujukan untuk menjadi bahan informasi dan perbandingan dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan untuk menjadi rule dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan termasuk rencana pencadangan suatu kawasan untuk dibentuk menjadi KKP.

 

 II.  TUJUH KATEGORI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

Mengelola sebuah kawasan konservasi  merupakan sebuah proses panjang untuk sampai pada tujuan besar pengelolaan. Berbagai kawasan konservasi di tanah air mengalami proses panjang untuk sampai pada pencapaian tujuan-tujuan pembentukan dan pengelolaannya. Dimulai dari perencanaan untuk dicadangkan, lalu pencadangan dan memperoleh legalitas dan pengakuan, kemudian pengelolaan sumberdaya secara minimu, lalu meningkat menjadi pengelolaan sumberdaya secara optimum, sampai kepada level tinggal landas dimana KKP sudah memperoleh berbagai bonus dari pengelolaan. Proses-proses tersebut membutuhkan waktu yang bisa sampai berpuluh tahun. Untuk memudahkan proses pengelolaan suatu kawasan maka penting untuk diketahui tentang kategori-kategori pengelolaan KKP yang ideal ada dalam pengelolaan suatu kawasan konservasi.

 1. Perencanaan dan desain Kawasan Konservasi Perairan (KKP)

Suatu wilayah yang akan dijadikan kawasan konservasi penting memiliki rencana kawasan dan desain kawasan. Perencanaan kawasan akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan KKP. Di dalam perencanaan terdapat desain KKP yang akan dibentuk dan dikelola. Karakteristik setiap wilayah perairan cenderung berbeda dengan wilayah perairan lainnya, hal ini mempengaruhi perencanaan kawasan.

Contoh Zonasi KaimanaPerencanaan dan desain KKP akan menggambarkan visi yang akan dicapai dari pegelolaan KKP tersebut. Misalnya suatu kawasan direncanakan untuk menjadi wisata bahari untuk kesejahteraan masyarakat maka desainnya akan banyak menggarisbawahi hal-hal yang berhubungan dengan wisata bahari. Demikian pula halnya KKP yang direncanakan untuk menjaga stok biodiversity akan memiliki desain yang menitikberatkn pada penjagaan stok sumberdaya. Desain kawasan juga akan mengcover seluruh spot yang memiliki peran dalam pencapaian tujuan pengelolaan.

Perencanaan dan desain KKP idealnya lahir melalui pembicaraan bersama antara seluruh masyarakat atau perwakilan masyarakat dengan segenap stakeholder yang ada dalam kawasan. Karena terdapat sangat banyak kepentingan di dalam suatu kawasan. Dengan demikian, desain yang lahir merupakan harmonisasi berbagai kepentingan stakeholder untuk pencapaian tujuan keuntungan bersama baik secara jangkan pendek maupun jangka panjang. Hal ini juga menghindari munculnya masalah didalam pengelolaan nantinya.

Suatu rancangan zonasi perairan adalah wujud perencanaan dan desain kawasan konservasi perairan. Zonasi yang baik merupakan upaya penataan ruang di wilayah pesisir dan perairan untuk kepentingan konservasi sumberdaya dengan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat dan para stakeholder. Tujuan zonasi akan bisa tercapai jika perencanaan dan desainnya baik dan benar. Dari rencana zonasi, akan memuat berbagai hal pengelolaan terutama batas-batas wilayah perairan dan segala aturan yang terkait didalamnya. Pencapaian tujuan zonasi tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti kepatuhan terhadap aturan, monitoring dan evaluasi, serta aspek pendanaan dan administrasi. Dan satu hal penting yang tidak bisa dilupakan adalah aspek ekonomi berkelanjutan dari masyarakat di dalam kawasan. Hal-hal tersebut akan dibahas kemudian.

Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam rangka perencaaan dan desain KKP adalah apakah KKP itu penting bagi masyarakat setempat atau tidak. Pertanyaan itu sebaiknya diajukan pada saat lokakarya atau berkumpul dengan masyarakat. Jika jawabannya tidak penting, maka kemungkinan masyarakat membutuhkan sosialisasi yang baik dari stakeholder tentang pentingnya KKP bagi mereka. Setelah masyarakat merasakan bahwa KKP adalah kebutuhan yang penting bagi mereka maka mayarakat itupun dengan mudah bisa diajak untuk merumuskan perencanaan dan desain KKP mereka. Masyarakat adalah elemen yang paling mengenal karakter wilayah mereka dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Karena masyarakatlah yang dalam kurun waktu lama bahkan turun temurun telah bergaul dengan kawasan tersebut berikut berbagai sumberdaya yang ada di dalamnya. Masyarakat juga mengenal dengan baik batas-batas wilayah serta karakter yang terdapat di setiap wilayah tersebut. Oleh karena itu sangat penting membaca kebutuhan masyarakat sebelum membuat perencanaan dan desain KKP. Dengan bersama masyarakat maka rencana pengelolaan akan lebih realistis tercapai karena mereka merupakan salah satu aktor penentu tercapainya tujuan pengelolaan tersebut.

 

2. Pelibatan Stakeholder

Stakeholder atau para pihak merupakan segenap elemen yang punya kepentingan terhadap sesuatu baik dalam hubungannya dengan ruang ataupun waktu. Stakeholder dalam suatu kawasan atau wilayah perairan termasuk di dalamnya masyarakat pelaku utama (nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasara skala kecil), pelaku usaha perikanan maupun masyarakat tani/kebun di pesisir dan pariwisata. Stakeholder juga termasuk pemerintah pusat dan daerah dengan berbagai jenis institusinya seperti kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, perencanaan dan pembangunan daerah (Bappeda), perindustrian perdagangan dan koperasi, serta perhubungan. Stakeholder juga mencakup berbagai lembaga non pemerintah atau LSM (Non government organization) terutama yang membidangi tentang pengelolaan kawasan konservasi perairan. Stakeholder juga mencakup lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan tinggi yang terdapat di dalam kawasan atau memiliki keterkaitan dengan kawasan tersebut, serta lembaga-lembaga masyarakat seperti lembaga adat dan sejenisnya yang turut memiliki andil dalam mempengaruhi perilaku dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan.

menggali kebutuhan masyarakatTerdapat berbagai LSM atau NGO yang bergerak dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Ada yang wilayah kerjanya lokal dan ada pula yang sampai di tingkat internasional. NGO ini banyak melakukan pengkajian dan pendampingan ke masyarakat secara intens dalam membangun kawasan mereka. Sebagian NGO berkantor atau memiliki pos-pos di masyarakat sehingga familiar bagi masyarakat. Ada pula yang secara tidak langsung memback-up masyarakat tanpa masyarakat ketahui. Selain dengan masyarakat terdapat pula NGO yang membangun kapasitas aparat atau pengelola kawasan itu sendiri seperti Starling Resources yang berkantor di Bali. Bagi penggiat kawasan konservasi perairan tentu familiar dengan NGO seperti CI (Conservation International), WWF (World Wide Foundation), CTC (Coral Triangle Center), TNC (The Nature Conservancy), RARE, Terangi (Terumbu Karang Indonesia) dan berbagai NGO lainnya. Bahkan saat ini NGO konservasi tergabung dalam MPAG atau Marine Protected Area Governance.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, mulai dari proses pencadangan dan perencanaan serta pembuatan desainnya harus melibatkan seluruh stakeholder yang ada di tempat itu. Biasanya kegiatan kumpul bersama dalam lokakarya dan sejenisnya difasilitasi oleh NGO/LSM bekerjasama dengan lembaga pemerintah tertentu dan mengundang berbagai stakeholder terkait. Keterlibatan stakeholder akan mematangkan proses perencanaan dan mengeliminir kemungkinan masalah dan konflik yang bisa muncul kemudian.

Pelibatan stakeholder juga akan mengefektifkan pengelolaan serta mengefisienkan anggaran. Dalam pertemuan-pertemuan bersama antara stakeholder akan memunculkan keinginan mengsinkronisasikan berbagai program dari para pihak baik program kerja lembaga pemerintah, NGO atau program masyarakat. Sebaliknya jika proses perencanaan dan pengelolaan tidak melibatkan stakeholder maka capaian pengelolaan juga tidak akan maksimal bahkan berpeluang menemui hambatan yang akan menggagalkan pencapaian tujuan pengelolaan kawasan itu sendiri. Tanpa pelibatan stakeholder maka pengelolaan akan menjadi parsial dan berjalan lambat serta tidak maksimal.

Apa langkah yang tepat agar semua stakeholder mau dan bisa terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi? Pertama yang harus dilakukan oleh pihak yang menggagas pencadangan kawasan adalah mengidentifikasi dengan detail stakeholder yang ada. Termasuk didalam bagian ini adalah mengidentifikasi kepentingan setiap stakeholder dan peluang keterlibatan mereka dalam pengelolaan kawasan. Tujuan identifikasi tersebut adalah agar kehadiran mereka tidak sekedar menjadi pelengkap tetapi semua memiliki peran penting dan mereka merasa dibutuhkan untuk kesuksesan pengelolaan kawasan konservasi. Selanjutnya mengundang mereka pada pertemuan perdana dengan agenda yang sudah dibatasi agar pertemuan tersebut efektif dan tidak membosankan bagi stakeholder. Hal pertama yang penting dilakukan pada pertemuan perdana adalah penyampaian pentingnya kawasan konservasi perikanan serta pentingnya motivasi dan visi bersama untuk pencapaian tujuan pengelolaan. Langkah ketiga adalah pelibatan setiap stakeholder dalam action plan yang disusun bersama oleh seluruh stakeholder.

Ada hal yang sering dilupakan dalam pembicaraan tentang stakeholder pengelolaan kawasan konservasi yakni kaum wanita dan ibu-ibu nelayan. Peran wanita nelayan sering dianggap sudah terwakili secara penuh oleh para nelayan (suami) mereka. Padahal sesungguhnya sudut pandang mereka bisa saja berbeda, termasuk apa yang dominan mereka alami dan rasakan berbeda dengan dunia suami mereka. Mereka memiliki pemikiran dan harapan sendiri tentang keluarga dan anak-anak mereka serta kehidupan ekonomi rumah tangga mereka. Kaum wanita nelayan juga memiliki ide tentang ekonomi kreatif yang bisa mereka kembangkan untuk membantu suaminya menghidupi keluarga. Hal-hal itu bisa saja luput dari perhatan ketika wanita nelayan tidak dilibatkan sebagai salah satu dari stakeholder yang punya peranan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.

 

3. Kepatuhan dan Penegakan Hukum

Hukum adalah masalah yang cukup krusial di Negara kita saat ini. Kewibawaan hukum sedikit banyak tergerus oleh perilaku sebagian aparat penegak hukum yang mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum itu sendiri. Dalam dunia perikanan kita mengenal hukum batas daerah penangkapan atau zona penangkapan, juga mengenal aturan tentang alat tangkap yang boleh dan tidak boleh digunakan didaerah tertentu, serta hukum tentang spesies yang dilindungi. Tetapi faktanya banyak sekali illegal fishing yang terjadi di depan mata masyarakat itu sendiri dan kurangnya upaya penegakan hukum yang serius dari aparat. Hal tersebut secara otomatis menumbuhkan keberanian masyarakat untuk ikut melanggar ketika orang lain disekitarnya berani melakukan pelanggaran dan tidak mendapat sangsi apa-apa. Minimal masyarakat akan apatis dan tidak mau tau dengan kondisi lingkungan ketika berulang-ulang bentuk palanggaran mereka saksikan.

Di dalam masyarakat sesungguhnya sudah terdapat hukum atau aturan yang mereka patuhi secara turun temurun atau yang kita kenal dengan kearifan lokal. Di dalam masyarakat juga biasanya terdapat pranata hukum atau aparat hukum yang disegani dan dipatuhi oleh masyarakat seperti tokoh adat atau tokoh agama. Kehidupan masyarakat berjalan harmonis dengan aturan-aturan tersebut, sampai aturan-aturan tersebut dilanggar oleh masyarakat dari luar yang tidak tahu tentang aturan tersebut atau karena tidak memiliki keterikatan dengan daerah tersebut. Pada konteks ini maka dibutuhkan payung hukum yang lebih besar untuk mengcover wilayah yang lebih luas, serta butuh penguatan dari pemerintah agar aparat penegak hukum dari pemerintah bisa terlibat dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Aturan yang berasal dari kampung cenderung efektif untuk dijalankan karena secara pilosofis lahir dari kondisi mereka dan harapan kondisi ideal yang akan mereka capai ketika aturan itu ditegakkan. Namun aturan tersebut harus disoalisasikan bukan hanya secara internal masyarakat dalam kawasan itu sendiri tetapi secara eksternal harus tersosialisasi sehingga dipatuhi oleh masyarakat luar. Untuk mencapai hal tersebut peranan pemerintah dan LSM serta institusi pendidikan akan sangat membantu. Ketika sudah tersosialisasi maka aturan akan lebih mudah ditegakkan dan masyarakat punya acuan untuk penerapannya. Kumpulan aturan-aturan dari kampung-kampung itu akan membentuk sebuah aturan makro pengelolaan kawasan secara luas.

Menurut Anonim (2013) yang dimodifikasi dari Oposa (1996) ada empat prinsip dasar pada penegakan hukum yaitu :

1. Hukum adalah perjanjian pada seperangkat aturan yang tujuannya harus dianggap sebagai keinginan dan didukung oleh individu dan masyarakat secara keseluruhan. Pada umumnya, hukum bertujuan untuk mempromosikan ‘kebiasaan baik.” Hukum bisa dilaksanakan lebih baik dan lebih efektif jika individu memahami dan menghargai alasan adanya hukum.

2. Pemasaran dan pendidikan tentang hukum pesisir. ‘Menjual hukum’ sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Orang-orang akan jauh lebih mematuhi aturan jika mereka (a) menyadari bahwa aturan itu ada, (b) mampu memahami, dan setuju dengan, alasan yang mendasari aturan, dan (c) menyadari bahwa akan ada konsekuensi jika mereka melanggar aturan itu. Orang harus disadarkan mengapa hukum tersebut ada, serta konsekuensi dari tindakan merekajika mereka melanggarnya.

3. Hukuman yang tepat harus dilaksanakan untuk mencegah perilaku ilegal. Penuntutan terhadap pelanggar yang terbukti secara hukum adalah penting. Proses penuntutan peradilan berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku.

4. Faktor sosial budaya harus dipertimbangkan dalampelaksanaan hukum. Atribut budaya khusus, seperti yang kadang-kadang bersifat sangat pribadi tentang hubungan antara penegak dan pelanggar, dan faktor-faktor seperti “kehilangan muka” dan menghindar dari penghinaan publik, harus dipahami dan dimasukkan ke dalam rancangan pendekatan penegakan

Keberadaan aturan serta kepatuhan terhadap aturan tersebut akan mendukung pengelolaan kawasan konservasi perairan berjalan dengan baik. Semua perencanaan dan desain pengelolaan kawasan hanya akan berjalan efektif jika ada kepatuhan terhadap hukum. Sumberdaya alam sangat rentan terhadap degradasi oleh eksploitasi, apalagi dengan motivasi masyarakat untuk alasan ekonomi dan bertahan hidup. Dengan adanya aturan yang ditegakkan maka akan meminimalisir pelanggaran dan meminimalisir tingkat kerusakan sumberdaya.

 

4. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi adalah maintenance dari program pengelolaan kawasan konservasi perairan. Monitoring atau pemantauan adalah kegiatan melihat proses pengelolaan kawasan dan menyesuaikannya dengan pencapaian tujuan pengelolaan berkelanjutan. Dari hasil pemantauan akan diketahui ada tidaknya perubahan yang terjadi pada sumberdaya berdasarkan rentang waktu periode pemantauan dan seberapa besar perubahan yang terjadi jika ada.

Monitoring dan evaluasiMonitoring dan evaluasi membutuhkan kapasitas yang memadai dari pemantau. Kapasitas pemantauan dan evaluasi adalah kemampuan membaca kondisi sumberdaya yang dikelola dan perubahan yang terjadi. Hal ini membutuhkan skill pemantauan atas tiga aspek utama pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif, yang menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.30 Tahun 2010 tiga aspek tersebut yakni aspek tata kelola, aspek sosial ekonomi dan budaya, serta aspek biofisik. Tata kelola di antaranya meliputi peningkatan SDM, kelembagaan dan administrasi, aturan, infrastruktur, kemitraan, jejaring dan pendanaan, serta monitoring dan evaluasi. Aspek sosial ekonomi dan budaya meliputi pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, pelestarian adat dan budaya serta monitoring dan evaluasi. Sedangkan aspek biofisik meliputi perlindungan serta rehabilitasi habitat dan populasi ikan, pemanfaatan sumberdaya ikan, penilitian dan pengembangan, pariwisata alam dan jasa lingkungan, pengawasan dan pengendalian serta monitoring dan evaluasi.

Ketiga aspek tersebut merupakan hal yang sangat kompleks, sehingga pekerjaan monitoring dan evaluasi harus dikerjakan bersama oleh stakeholder. Khusus untuk pemantauan biofisik juga dibutuhkan keterampilan membaca kondisi biofisik dengan memahami kriteria baku kondisi sumberdaya seperti yang tertuang dalam beberapa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang kriteria baku kerusakan mangrove, karang, padang lamun dan baku mutu air laut.

Selain pengetahuan tentang cara pengambilan data di lapangan, monitoring dan evaluasi juga membutuhkan pengetahuan tentang tata cara mengelola data (input, analisis dan interprestasi). Selanjutnya tim monitoring dan evaluasi juga harus punya pengetahuan tentang cara penulisan laporan dan mengkomunikasikan hasil monitoring dan evaluasi tersebut kepada stakeholder terkait. Tujuan monitoring dan evaluasi adalah menjadi bahan informasi untuk pengambilan keputusan tentang pola pengelolaan apakah perlu perubahan atau tidak.

Monitoring dan evaluasi akan menjadi perangkat yang mengingatkan pengelola tentang kondisi baik atau buruk yang terjadi. Kondisi seperti ambang batas perubahan yang ditoleransi atau LAC (limit of acceptable change) atau standar perubahan yang ditetapkan atas sumberdaya, hanya bisa diketahui melalui kegiatan monitoring (Agussalim dalam www.bp3ambon-kkp.org, 2014). Perbaikan dan percepatan pengelolaan juga bisa diperoleh dari informasi hasil monitoring dan evaluasi.

 

5. Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan

Suatu kawasan konservasi perairan sebagai wilayah yang berada pada pesisir dan laut pada umumnya memiliki potensi sumber ekonomi berkelanjutan. Pesisir dan laut secara umum memiliki potensi perikanan, pariwisata bahari dan jasa. Potensi tersebut jika dikelola dengan baik akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik dan berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi.

1. Budidaya Ikan dan Rumput Laut

Rumput Laut di KaimanaPotensi perikanan yang baik untuk dikembangkan menjadi aktivitas ekonomi berkelanjutan di antaranya budidaya ikan dan rumput laut. Ikan yang bisa dibudidayakan banyak jenisnya tergantung karakteristik wilayahnya serta nilai ekonomis jenis tersebut, misalnya kerapu, bobara/kuwe, dan jenis ikan lainnya termasuk udang, dan kepiting. Dari hasil budidaya perikanan masyarakat akan memiliki pendapatan yang baik dan berkelanjutan. Pengetahuan tentang budidaya ikan akan menjadi alternative yang sangat baik bagi masyarakat nelayan yang selama ini hanya bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan.

2. Pengolahan Hasil Perikanan

Pengolahan hasil perikanan menjadi berbagai jenis olahan juga menjadi alternatif kegiatan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi perairan. Ikan hasil tangkapan nelayan bisa diolah oleh ibu dan wanita nelayan menjadi berbagai jenis olahan seperti abon, nugget, bakso, otak-otak, kerupuk, sosis, serta berbagai diversifikasi olahan ikan lainnya. Termasuk didalam berbagai jenis olahan tersebut adalah olahan rumput laut menjadi dodol, permen, manisan, selai, cendol, bahkan sabun, yogurt, saos, nata, biscuit dan sebagainya yang semuanya berbahan dasar rumput laut.

3. Pengolahan Hasil Pertanian/Perkebunan

Wilayah pesisir tidak hanya menyediakan produk perikanan dan laut, tetapi dipesisir juga terdapat pertanian dan perkebunan. Sebagian masyarakat di kawasan konservasi biasanya tetap mempertahankan ketergantungan sumber pendapatan mereka pada aktivitas bertani atau berkebun. Sebagian lagi menjadikan aktivitas pertanian sebagai alternative atau sambilan ketika sedang tidak melaut. Berbagai jenis hasil pertanian menjadi bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat baik didalam kawasan konservasi maupun masyarakat secara luas. Produk pertanian terseut selain dijual utuh atau mentah juga potensial diolah menjadi berbagai jenis olahan yang bisa menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat. Contohnya di Kaimana masyarakat mengolah buah merah menjadi minyak buah merah yang memilikki banyak khasit untuk kesehatan. Meskipun harganya mahal tetapi buah merah diminati pengunjung Kaimana karena minyak tersebut sulit ditemukan di daerah lain. Terdapat juga sirup dari mangrove, serta berbagai jenis madu berkualitas tinggi seperti yang banyak dijual di Wakatobi. Masih banyak contoh lain yang bisa dimunculkan sebagai bukti bahwa produk pertanian/perkebunan pesisir kawasan konservasi memiliki potensi ekonomi berkelanjutan.

4. Pariwisata (alam, budaya dan kuliner)

Pariwisata menjadi salah satu komoditas yang berperan strategis dalam pengembangan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat kawasan konservasi perairan. Hal itu karena pariwisata selain menjadi salah satu produk yang dijual oleh masyarakat, pariwisata sekaligus menjadi pemasok konsumen (pembeli) bagi produk yang dihasilkan oleh masyarakat seperti ikan hasil tangkapan nelayan atau hasil olahan masyarakat baik olahan ikan, rumput laut, maupun olahan hasil pertanian/perkebunan. Produk pariwisata itu sendiri terbagi dalam berbagai jenis yakni wisata alam, wisata budaya, dan wisata kuliner khas daerah.

Wilayah pesisir dan laut di nusantara menyajikan berbagai jenis keindahan alam yang berpotensi mengundang wisatawan. Keindahan alam itu terbentang mulai dari keindahan pantai dan pasir putihnya dengan berbagai flora dan fauna di sekitarnya sampai pada keindahan terumbu karang dengan berbagai jenis ikan warna warni didalamnya. Keragaman budaya di nusantara juga menjadi daya tarik wisata bernilai tinggi dan sebagian besar budaya tersebut berbasis pada budaya bahari sehingga menjadi paket tak terpisahkan dari kegiatan wisata bahari. Berbagai citarasa makanan khas daerah di tanah air juga menjadi potensi wisata, karena sebagian besar pengunjung memiliki keinginan mencoba cita rasa baru yang berasal dari daerah yang baru dikunjunginya, sehingga menjadi pelengkap kegiatan wisata yang dilakukannya.

Berbagai jenis kerajinan souvenir bisa menjadi pelengkap kegiatan wisata yang terdapat di dalam KKP. Souvenir kreasi masyarakat dalam kawasan akan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan menjadi pelengkap perjalanan para pengunjung. Bagian yang tak terlewatkan dari setiap pegunjung adalah cinderamata dari daerah tersebut. Peluang pendapatan tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Peluang itu dapat dimanfaatkan masyarakat maka perlu pembekalan keterampilan bagi masyarakat.

5. Jasa (transportasi laut, guide, dan bengkel laut)

Ketika suatu kawasan konservasi menawarkan kegiatan pariwisata maka akan tumbuh lagi suatu peluang ekonomi bagi masyarakat yakni jasa. Produk jasa yang bisa dijual masyarakat di kawasan konservasi adalah jasa transportasi. Sebagai wilayah perairan, maka transportasi laut berupa kapal, speed boat, perahu dan sejenisnya memegang peranan kunci untuk berbagai hal terutama untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jasa transportasi tidak harus selalu disiapkan oleh pemerintah. Masyarakat bisa mengambil peluang tersebut dengan menyiapkan jasa angkutan yang akan disewa oleh pengguna untuk mengantarnya sampai ke daerah tertentu. Contoh hal ini di antaranya terdapat di Raja Ampat, dimana pengunjung menggunakan jasa speed boat yang mengantar mereka ke spot-spot wisata seperti Wayag, Sayang, Pianemo dan spot wisata lainnya.

Kegiatan wisata bahari juga membutuhkan guide yang bisa melibatkan masyarakat lokal. Masayarakat selaku orang yang paling mengenal seluk beluk dan karakter wilayah setempat merupakan guide yang paling tepat (asal terlatih dan professional). Masyarakat bisa menjadi guide yang mengantar pengunjung ke spot-spot wisata, termasuk menjadi guide selam untuk wisata bawah air.

Lalu lintas yang terjadi di wilayah kawasan konservasi perairan otomatis membutuhkan jasa perbaikan alat transportasi laut atau bengkel laut. Kerusakan mesin atau bagian tertentu pada speed boat, kapal atau perahu besar kemungkinannya terjadi di laut. Kondisi demikian sangat membutuhkan bengkel laut. Bengkel laut bisa statis tetapi jika dinamis akan lebih baik, agar bisa mendatangi kendaraan laut yang sedang membutuhkan perbaikan.

Seluruh potensi ekonomi tersebut bisa dibangun dengan membekali masyarakat dengan kapasitas yang sesuai kebutuhan mereka. Pihak pemerintah dan NGO serta berbagai stakeholder bisa bekerjasama dalam pembangunan kapasitas yang dibutuhkan masyarakat yang didahului dengan lokakarya perencanaan pengembangan kapasitas pengelolaan wilayah konservasi perairan.

 

6. Operasional Lapangan

Pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat bergantung pada operasional lapangan yang meliputi pengawasan dan patroli. Operasional lapangan membutuhkan dana yang cukup besar dan komponen pendukung yang harus memadai. Operasional lapangan berkembang seiring perkembangan pengelolaan kawasan konservasi. Bisa dimulai dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat pengawas atau Pokmaswas, selanjutnya mengidentifikasi kebutuhan untuk pengawasan dari Pokmaswas tersebut. Kebutuhan akan pos pengawasan, speedboat pengawasan atau perangkat pengawasan seperti HT (handy talk), senjata api, GPS dan sebagainya bisa secara perlahan dipenuhi satu persatu berdasarkan prioritas dan kemampuan dana pengelolaan.

Menurut Anonim (2013) pengawasan melibatkan peraturan dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan untuk memastikan bahwa perundang-undangan nasional, kondisi akses, dan tindakan pengelolaan yang diamati. Komponen pengawasan dalam pemantauan, pengendalian dan pengawasan atau MCS (Monitoring, Control and Surveillance) memerlukan personil perikanan yang tidak hanya mengumpulkan data untuk aspek pemantauan MCS selama tugas pengawasan mereka, tetapi juga dapat berkomunikasi dengan dan mendidik para pemangku kepentingan yang terlibat dalam kegiatan konservasi partisipatif. Orang ini harus memiliki perlengkapan yang sesuai dan fasilitas, dana operasi dan pelatihan baik untuk mendorong kepatuhan sukarela dan untuk menegakkan hukum bila diperlukan. Pengawasan biasanya merupakan komponen terbesar dan paling mahal untuk didanai. Kegiatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya tidak dieksploitasi berlebihan, perburuan diminimalkan dan pengaturan pengelolaan dilaksanakan.

Jika ditarik kesumberdaya perikanan saja maka upaya meningkatkan kemampuan pengawasan dan penegakan hukum menurut Anonim (2013) melalui kegiatan, antara lain:

–          Meningkatkan kegiatan pengawasan;

–          Meningkatkan jumlah dan kemampuan petugas pengawasan perikanan dan penyelidik perikanan

–          Mengembangkan fasilitas dan prasarana pengawasan perikanan, termasuk pembangunan kapal pengawasan yang baru dan pengembangan Sistem Pemantauan KapaTim Penilai Kapasitas KKPD Kaimanal

–          Membentuk unit pelaksana teknis untuk pengawasanperikanan

–          Membentuk pengadilan perikanan

–          Membentuk forum koordinasi nasional untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum perikanan

–          Mengembangkansistem pengawasan perikananberbasis masyarakat

Suatu kawasan konservasi perairan yang telah memiliki perangkat pengawasan yang beroperasi dengan akan sangat mendukung pencapaian tujuan pengelolaan karena pengawasan yang baik akan mencegah kerusakan sumberdaya. Jika suatu kawasan konservasi belum memiliki kelengkapan operasional lapangan maka seluruh stakeholder harus memikirkan dan berupaya bersama untuk secara bertahap mengefektifkan operasional lapangan bisa berjalan dengan baik.

 

7. Manajemen Administrasi dan Keuangan

Administrasi dan aspek finansial adalah salah satu faktor penentu pengelolaan kawasan konservasi perairan meskipun bukan satu-satunya tetapi tanpanya hampir semua aspek tidak bisa berjalan dengan baik. Aspek keuangan bukan hal yang sulit diperoleh oleh pengelola KKP tetapi aspek adminstrasi dan pengelolaan keuangan yang baik butuh keterampilan dan pendampingan dari NGO yang membidangi hal tersebut.

Keuangan kawasan konservasi bisa bersumber dari dana pemerintah pusat, pemerintah daerah, bahkan dari bantuan badan internasional. Sumber keuangan kawasan konservasi juga bisa berasal dari entrance fee atau tarif masuk kawasan seperti yang berlaku di Raja Ampat Papua Barat yang sekian persen tarif masuknya adalah untuk pengelolaan kawasan konservasi.

Sumber keuangan pengelolaan kawasan konservasi perairan atau sumber pendanaan kawasan perlindungan menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2014) Ada 3 kategori yaitu (a) anggaran pemerintah, (b) kontribusi eksternal, (c) pendanaan lokal. Untuk memperoleh pendanaan secara berkelanjutan, para pemangku kepentingan (stakeholders) harus mempunyai komitmen meningkatkan alokasi pendanaan untuk pembentukan clan pengelolaan secara efektif kawasan perlindungan. Kontribusi sumber-sumber pendanaan lokal perlu ditingkatkan. Salah satu sumber dana lokal potensial adalah merealokasi sebagian dana subsidi yang saat ini diberikan pemerintah untuk pemanfaatan sumber daya alam menjadi dana konservasi. http://www.menlh.go.id/pendanaan-kawasan-perlindungan-di-indonesia/

Administrasi dan pengelolaan keuangan untuk kegiatan pengelolaan kawasan konservasi harus tertata dengan baik mengingat jangka waktu pengelolaan cenderung berjangka panjang. Selain itu banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan bisa bermakna banyaknya kepentingan yang menunggu bagian kucuran dana. Oleh karenanya adminstrasi keuangan harus benar-benar berjalan baik, transparan dan senantiasa bisa dimonitor. Agar adminstrasi keuangan pengelolaan KKP bisa berjalan dengan baik maka pengelola harus mendapat pembekalan (capacity building) dan pendamipngan dari pemerintah maupun NGO. Starling Resources dan RARE adalah NGO yang focus pada pendampingan aparat pengelola kawasan konservasi.

 

 

III. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Pengelolaan kawasan koservasi perairan (KKP) yang ideal memang layaknya menerapkan tujuh kategori pengelolaan yang baik. KKP harus memiliki perencanaan dan desain kawasan konservasi perairan yang akan mengarahkan pada tercapainya visi dan tujuan pembentukan KKP tersebut. Dalam pengelolaan KKP harus melibatkan seluruh stakeholder yang terkait agar memudahkan proses pengelolaan, sinkronisasi program, pengefektifan pembiayaan dan mengeliminir masalah-masalah konflik kepentingan yang bisa terjadi dalam pengelolaan kawasan.

Pengelolaan KKP akan berlangsung dengan baik jika ada kepatuhan dan uopaya penegakan hukum dan aturan yang berlaku. Hukum yang berlaku idealnya adalah hukum yang bersinergi dan lahir dari masayarakat dan seluruh stakeholder yang ada dalam kawasan tersebut. Kepatuhan terhadap aturan juga membutuhkan monitoring dan evaluasi. Selain itu monitoring dan evaluasi akan senantiasa mengontrol kesesuaian proses pengelolaan dengan tujuan dan target pengelolaan KKP yang sudah dirumuskan. Aspek yang dimonitor dan dievaluasi adalah aspek tata kelola, aspek social ekonomi dan budaya serta aspek biofisik yang terdapat di kawasan.

Suatu kawasan perairan yang dikonservasi harus tetap memperhatikan aspek ekonomi berkelanjutan dari masyarakat. Pengembangan ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat di KKP bisa dibangun melalui pembangunan kapasitas masyarakat untuk bisa melakukan budidaya perikanan dan rumput laut, pengolahan hasil perikanan dan rumput laut, pengolahan hasil pertanian/perkebunan, pariwisata, jasa transportasi dan jasa bengkel laut serta berbagai pengembangan ekonomi alternative lainnya.

Operasional lapangan berupa pengawasan dan patroli dalam KKP adalah bagian yang memegang peranan kunci keberlangsungan pengelolaan.Pengawasan biasanya merupakan komponen terbesar dan paling mahal untuk didanai. Kegiatan ini sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya tidak dieksploitasi berlebihan, perburuan diminimalkan dan pengaturan pengelolaan dilaksanakan.

Administrasi dan keuangan menjadi penentu dari enam kaegori lainnya sebagai penggerak setiap aktivitas yang terkait dengan pengelolaan KKP. Pendanaan pengelolaan KKP bisa bersumber dari anggaran pemerintah, kontribusi eksternal, atau pendanaan lokal. Untuk memperoleh pendanaan secara berkelanjutan, para pemangku kepentingan (stakeholders) harus mempunyai komitmen meningkatkan alokasi pendanaan untuk pembentukan dan pengelolaan secara efektif KKP. Kontribusi sumber-sumber pendanaan lokal jua perlu ditingkatkan

 

b. Saran

Tujuh kategori pengelolaan KKP tersebut adalah kategori yang harus terpenuhi untuk keberhasilan pengelolaan KKP. Kategori tersebut hanya bisa dilakukan dengan baik jika pengelola dan segenap stakeholder KKP memiliki kapasitas untuk pengelolaan tersebut. Karena itu dibutuhkan identifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas pengelolaan melalui lokakarya dan selanjutnya melakukan pembangunan kapasitas melalui sosialisasi, penyuluhan, pedidikan, pelatihan, bimtek, magang, studi banding dan sebagainya, yang diperlukan untuk pengelolaan. Selain pembangunan kapasitas, juga sebaiknya dilakukan pendampingan dan penjadwalan pertemuan berkala para stakeholder dalam KKP.

 

*) Penulis adalah trainer konservasi perikanan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Ambon

 

 

Referensi

 

Anonim, 2013. Melaksanakan Aturan dan Perundang-Undangan Perikanan. Bahan Ajar Diklat Konservasi (Perikanan Berkelanjutan)

http://bp3ambon-kkp.org/menerapkan-limit-of-acceptable-change-lac-terhadap-pengelolaan-sumberdaya-kelautan-dan-perikanan-untuk-keberlanjutan-oleh-agussalim/   diakses pada tanggal 5 Desember 2014.

http://www.bphn.go.id/data/documents/10pm030.pdf Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/MEN/2010 Tentang Rencana Pengelolaan Dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.

http://www.kkp.go.id/stp/index.php/arsip/c/834/. Sejarah Perkembangan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia. Diakses pada tanggal 4 Desember 2014.

http://www.menlh.go.id/pendanaan-kawasan-perlindungan-di-indonesia/. Pendanaan Kawasan Perlindungan. Diakses pada tanggal 5 Desember 2014.

 

Valuasi Ekonomi Wisata Bahari Objek Wisata Ora Beach

Oleh: Agussalim

Pendahuluan

antik di OraPemanfaatan sumberdaya agar bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat dilakukan dengan berbagai cara. Seiring berjalannya waktu pola pemanfaatan mengalami perkembangan dari pola konvensional (tradisional) ke pola pengelolaan modern. Pengelolaan setiap sumberdaya tentu saja akan memberi dampak ekonomi kepada para pihak pengelola maupun objek yang dikelola (sumberdaya yang bersangkutan). Sejauh mana dampak tersebut dirasakan, dipengaruhi oleh sebesar apa pelibatan para pihak di dalam pengelolaan tersebut. Selain dampak ekonomi, tentu saja ada pula dampak social dan biologi terhadap objek (yang bisa juga dikonversi dalam nilai ekonomi sumberdaya).

 

Ora Beach is a beautiful destination, sebuah objek wisata pantai di pesisir yang memiliki keindahan alam yang sangat menawan. Objek wisata ini terletak di Teluk Saleman, Kecamatan Seram Utara Barat Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Tempat ini begitu menawan dengan pantulan warna biru kehijauan dari air lautnya yang merupakan paduan warna air laut dan pantulan cahaya dari terumbu karang yang tersebar luas sampai di pinggir pantainya yang berpasir putih bersih. Dari jarak tidak terlalu dekat pandangan kita akan disejukkan pula oleh pantulan bayangan gunung batu dengan pepohonan hijau yang menjulang kokoh setinggi sekitar 500m (di atas permukaan laut) di pinggiran teluk. Keberadaan resort yang mengambil model rumah penduduk lokal yang dibangun di atas air menyempurnakan keindahan destinasi ini. Kesan eksotik semakin sempurna dengan ketenangan perairan teluk yang seperti tak berombak karena terlindung daratan teluk Saleman.

teluk sawaiDi sebelah Utara Ora Beach terdapat Teluk Sawai yang merupakan sebuah destinasi wisata yang dikenal sampai di daratan Eropa. Di sebelah Timur Ora Beach terdapat Taman Nasional Manusela yang merupakan wilayah hunian burung endemik Maluku dan merupakan kawasan rehabilitasi burung-burung khas Maluku yang hampir punah. Sebelah Selatan dan Baratnya terdapat pemukiman penduduk Negeri Saleman yang juga memiliki banyak sumberdaya yang bisa menjadi objek wisata seperti Gua yang dalam dan pemandangan jutaan burung kelelawar yang terbang dari gerombolan keluar dari gua menjelang sore dan pulang saat subuh tiba.

 

Ora Beach Objek Wisata Bahari Potensial

Ora yang indahOra Beach memiliki sumberdaya yang kaya dan beragam, yang terdapat pada beberapa ekosistem di dalamnya. Mulai dari atas terdapat ekosistem rawa dengan berbagai satwa dan pepohonan di dalamnya. Lebih ke arah laut terdapat ekosistem pantai berpasir yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan hutan pantai dan pantai pasir putih yang bersih. Lebih ke bawah lagi terdapat ekosistem lamun yang bersisian dengan ekosistem terumbu karang. Pada kedua ekosistem tersebut juga terdapat beragam organisme baik flora maupun fauna.

Pantai Ora Beach banyak ditumbuhi pepohonan jenis bintanggor, pule, malapeong, dan juga pohon beringin. Pada pantainya yang berpasir putih bersih ditemukan kulit-kulit kerang. pada daerah padang lamun terdapat banyak tumbuhan lamun yang tidak terlalu tinggi dari jenis enhalus, juga terdapat organisme Echinodermata seperti bintang laut, dan dari Holotruidea yaitu teripang. Pada ekosistem terumbu karangnya ditemukan berbagai jenis karang dan ikan-ikan karang serta ikan hias air laut. Juga terdapat gastropoda, dan Echinodermata jenis bintang laut.

 Valuasi Ekonomi Wisata Bahari Ora Beach

teluk saleman

Karena keindahannya yang sangat menawan maka tempat ini kemudian dikelola menjadi objek wisata. Menurut keterangan warga, Ora sudah memiliki resort sejak tahun 1997. Selama sekitar 15 tahun, ternyata objek wisata ini belum terlalu banyak dikunjungi wisatawan terutama wisatawan domestic. Kemungkinan sebagian alasannya adalah bahwa objek wisata ini hanya bisa dicapai lewat jalur laut melalui Teluk Saleman atau Teluk Sawai. Selain itu kemungkinan yang bisa menjadi penyebabnya adalah bahwa selama ini objek wisata ini dikelola perorangan dan hampir tidak melibatkan masyarakat di dekat objek wisata. Lokasi wisata ini juga jauh dari pemukiman penduduk.

Esensi valuasi ekonomi sumberdaya perairan ialah teori ekonomi sebagai dasar dalam mengestimasi manfaat yang sesuai dalam nilai manfaat suatu sumberdaya perairan. Demikian juga pengukuran nilai ekonomi didasarkan pada apa yang diinginkan masyarakat terutama menyangkut preferensi mereka.

Defenisi sumberdaya juga terkait pada 2 (dua) aspek yaitu :

Aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan.

Misalnya : resort pada objek wisata, tenaga kerja dan fasilitas transportasi.

Aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumberdaya dan bagaimana teknologi digunakan.

Misalnya : aspek kelembagaan yang menentukan pengaturan siapa yang boleh mengelola objek wisata tersebut

Kerangka Valuasi Ekonomi (Penilaian Ekonomi) Sumberdaya Perairan

Nilai Ekonomi (Economic Value) sumberdaya dibagi kedalam 2 (dua) bagian, yaitu :

  1. Nilai pakai atau Nilai Kegunaan (Use Value) dan
  2. Bukan nilai kegunaan atau Nilai Non-Kegunaan (Non Use Value).

Komponen pertama, nilai pakai atau Nilai Kegunaan Total (Total Use Value) merupakan penjumlahan dari nilai-nilai Pemanfaatan Secara Langsung Total (Total Direct Use Value), nilai-nilai pemanfaatan secara tidak langsung (Total Indirect Use Value), nilai-nilai pilihan (Option Value). Nilai-nilai pemanfaatan secara langsung (Total Direct Use Value) merujuk pada penjumlahan nilai-nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung atau dari interaksi dengan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.

Nilai-nilai pemanfaatan secara tidak langsung (Indirect Use Value) merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya dan lingkungan.

Komponen kedua, Nilai Non-Kegunaan atau Bukan Nilai Kegunaan (Non Use Value) sebagai nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam seperti kepuasan individu akan komunitas keberadaan sumberdaya walau tanpa adanya keinginan untuk memanfaatkannya. Secara detail, Fausi (2005) mengkategorikan Non Use Value ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

ora beach maluku

1.   Nilai manfaat pilihan (Quasi-Option) lebih diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk menikmati barang dan jasa dari sumberdaya dimasa yang akan datang. Dengan kata lain, Quasi-Option juga merupakan nilai pemeliharaan sumberdaya, sehingga pilihan untuk pemanfaatan masih tersedia untuk masa yang akan datang.

2.   Nilai perhala atau amal (Bequest Value) diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (Bequest) sumberdaya untuk generasi mendatang (yang belum lahir). Bequest Value diukur berdasarkan alam dan lingkungan untuk generasi mendatang (Fauzi 2005).

3.   Nilai Manfaat Keberadaan (Existence Value) didefinisikan sebagai manfaat yang dirasakan masyarakat dari keberadaan ekosistem yang diteliti setelah kedua nilai manfaat (Use Value dan Option Value) dihilangkan dari analisis.

Dengan demikian, total nilai ekonomi sumberdaya yang menyeluruh (Total Economic Value/TEV) adalah nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari Nilai Pakai atau Nilai Kegunaan Total (Total Use Value) dan Bukan Nilai Pakai atau Bukan Nilai Kegunaan (Non Use Value) beserta komponen-komponennya.

Melalui pendekatan teoritik di atas kemudian kita berusaha melihat realitas di Objek Wisata Bahrai Ora Beach yang diperoleh melalui pengisian data questioner lewat wawancara dengan beberapa pengunjung pada hari Minggu tanggal 10 Februari 2012.

Responden 1

Dari beberapa responden, melalui wawancara langsung, diperoleh beberapa keterangan tentang valuasi ekonomi wisata bahari di Ora Beach. Responden pertama adalah seorang pria berusia 28 tahun yang berasal dari Jogjakarta dan bekerja di Ambon. Namanya Lukas, seorang apoteker yang bekerja di bidang kesehatan swasta di kota Ambon. Dia mengaku bahwa motivasi kunjungan ke Ora adalah murni berwisata dan pada saat wawancara berlangsung ini merupakan kali pertama dia ke Ora Beach. Dia mengunjungi Ora karena tertarik dengan pemandangan alamnya yang indah yang diketahuinya dari teman seprofesi. Dan pada saat ia melihat langsung keindahan alamnya dia terkagum-kagum dengan keindahan alam dan terumbu karangnya. Menurutnya dia setuju jika Ora Beach dikelola dengan konsep ekowisata. Secara fisik menurut Lukas pemandangan alam di Ora Beach sangat indah, dengan kondisi terumbu karang yang cukup baik, dan fasilitas wisata yang cukup, meskipun menurutnya akses jalan ke lokasi ini sulit. Kemanan dan kenyamanan lokasi menurutnya juga cukup. Aktifitas yang paling disukai oleh Lukas di Ora Beach adalah menyelam (snorkeling). Dia berencana dalam lima tahun ke depan dia bisa mengunjungi Ora Beach sekitar 4-5 kali lagi.

Willingness to Pay Responden 1

Menurut Lukas dia bersedia membayar objek wisata yang dia nikmati di Ora Beach. Menurutnya  seharusnya dana masuk wisata di tempat ini dibayarkan melalui karcis tanda masuk yang berkisar 5.000-10.000 per orang, yang peruntukannya adalah pemeliharaan kebersihan dan keamanan yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Pada kenyataannya memang tidak terdapat bea masuk lokasi objek wisata ini. Dan Lukas bisa mencapai lokasi ini melalui layanan pengelola resort di Ora Beach yang dijual dengan paket yang di dalamnya inklud biaya transportasi, konsumsi, akomodasi dan seluruh biaya-biaya lainnya sejak dari Kota Ambon sampai di lokasi dan pulang kembali ke kota Ambon dalam jangka waktu sesuai dengan paket yang dipilihnya. Menurutnya paket seharga 2,1 juta rupiah sudah cukup untuk menikmati Ora Beach selama sehari semalam.

Responden 2

Responden kedua adalah Arif Ibnu Hamdiyah seorang pria 37 tahun yang juga berasal dari Jogjakarta. Dia seorang lulusan pascasarjana yang sedang bekerja (staf ahli) di PT. WIKA dengan income sekitar 5-20 juta/bulan yang sedang  bertugas di Ambon.

Arif mengaku bahwa motivasi kunjungan ke Ora adalah liburan dan pada saat wawancara berlangsung ini merupakan kali pertama dia ke Ora Beach. Dia mengunjungi Ora sebagai tujuan utamanya. Arif tertarik dengan pemandangan alam Ora yang indah yang diketahuinya dari temannya. Menurutnya yang paling menarik di objek wisata ini adalah keindahan alam dan terumbu karangnya. Dia setuju jika Ora Beach dikelola dengan konsep ekowisata. Secara fisik menurut Arif pemandangan alam di Ora Beach sangat indah, dengan kondisi terumbu karang yang sangat baik, dan fasilitas wisata yang memadai, meskipun menurutnya akses jalan ke lokasi ini sulit. Kemanan dan kenyamanan lokasi menurutnya juga sangat baik. Aktifitas yang paling disukai oleh Arif di Ora Beach adalah menikmati pemandangan alam. Dia berencana dalam lima tahun ke depan dia bisa mengunjungi Ora Beach sekitar 1-3 kali lagi.

Willingness to Pay Responden 2

Menurut Arif Ibnu Hamdiyah dia bersedia membayar objek wisata yang dia nikmati di Ora Beach. Menurutnya  seharusnya dana masuk wisata di tempat ini dibayarkan melalui karcis tanda masuk yang berkisar 20.000-50.000 per orang, yang peruntukannya adalah perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Pada kenyataannya memang tidak terdapat bea masuk lokasi objek wisata ini. Arif mencapai lokasi ini bersama teman-temannya dengan mengeluarkan biaya transportasi sebesar 3 juta rupiah (dua mobil) dari Ambon. Di lokasi wisata Ora Beach Arif bersama teman-temannya menyewa resort dengan tarif Rp. 400.000/ kamar permalam. Untuk konsumsi mereka sudah menyiapkannya sebelum berangkat karena tidak membeli paket wisata dari pengelola resort. Biaya-biaya lainnya selama perjalanan sekitar Rp. 250.000.Perlu diketahui bahwa di Ora Beach tidak terdapat kios ataupun warung makan, hanya terdapat resort dengan fasilitas penginapan dan akomodasi di dalamnya.

Responden 3

Responden ketiga bernama Fauzan 39 tahun yang berasal dari Jawa Barat. Fauzan berprofesi sama dengan Arif Ibnu Hamdiyah, yang juga bekerja pada PT. Wijaya Karya yang sedang mengerjakan proyek di Kota AmbonMaluku. Keterangan yang diperoleh dari Fauzan terkait dengan Ora Beach sama dengan keterangan dari Arif. Menurutnya mendatangi Ora Beach lebih hemat dengan rombongan dan membawa kendaraan sendiri. Hanya saja sayangnya di Ora Beach belum ada masyarakat sekitar yang terlibat dalam bentuk menjual penunjang wisata seperti penginapan, rumah/warung makan dan penjual pernak-pernik berbau Ora Beach.

 

Bagaimana Seharusnya Ekonomi Wisata (Ekowisata) Bahari Ora Beach

Dari keterangan responden dapat disimpulkan bahwa Ora Beach sebagai sebuah objek wisata yang sangat menarik meskipun mencapainya hanya bisa lewat laut sebaiknya dikelola oleh pemerintah kabupaten dengan lebih baik lagi. Dalam pengelolaan perorangan (kawasan dikontrak oleh pengusaha/investor), tidak melibatkan masyarakat lokal (sekitar/dekat dengan objek wisata).

Tiadanya pelibatan tersebut otomatis berdampak pada tidak dirasakannya efek finansial (ekonomi) dari keberadaan objek tersebut oleh masyarakat sekitar. Sedangkan menurut Ambodalam Agussalim (2013) ada beberapa prinsip pengembangan Ekowisata yang harus dipenuhi yaitu :

pertama, mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal. Pencegahan dan penanggulangan dampak harus dapat disesuaikan dengan sifat dan karakter bentang alam dan budaya masyarakat lokal. Dua, mendidik atau menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi. Tiga, mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan pajak konservasi dapat digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatan kualitas kawasan pelestarian.

Empat, masyarakat dilibatkan  secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata. Lima, keuntungan ekonomi yang diperoleh secara nyata harus dapat mendorong masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kawasan pesisir dan laut.Enam, semua upaya pengembangan, termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Bila terdapat ketidakharmonisan dengan alam, hal itu akan merusak produk Ekowisata yang ada.

Tujuh, pembatasan pemenuhan permintaan, karena umumnya daya dukung ekosistem secara alamiah lebih rendah daripada daya dukung ekosistem buatan. Delapan, apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk Ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proporsional dan adil untuk pemerintah pusat dan daerah.

Kegiatan Ekowisata harus dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengembangan Ekowisata perlu dilakukan analisis terhadap kondisi social-ekonomi masyarakat agar dapat dikenali  kekuatan dan kelemahan yang ada dalam masyarakat, sehingga dapat diketahui apa yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan Ekowisata.

Aspek kelembagaan, baik pemerintah maupun masyarakat, juga perlu dianalisis agar tidak menjadi hambatan dalam pengembangan Ekowisata. Demikian pula dengan sarana wilayah seperti jalan, listrik, air bersih, dan lain-lain harus tersedia agar kegiatan Ekowisata dapat berkembang dengan baik. Di Ora Beach hanya terdapat penerangan dari genset resort, juga terdapat  sumber air tawar yang bersih tetapi baru dikelola sebatas untuk mandi dan mencuci. Untuk kebutuhan air minum masih mengandalkan air minum kemasan yang dibawa dari luar kawasan wisata tersebut.

 

Referensi

Tuwo Ambo, 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan laut, Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional, Surabaya.

Agussalim, 2013. Program Ekowisata Bahari Solusi Pemberdayaan Masyarakat serta Konservasi Pesisir dan Laut. www.bp3ambon-kkp.org

Fauzi, 2005. Ekonomi Sumberdaya

pReferensi