Selamat Datang di Website Pribadi Agussalim – Widyaiswara Kementerian Kelautan & Perikanan RI – Mobile Contact: 085242074257

Shifting Base Line, dan Pengelolaan Berkelanjutan

Gali pengetahuan dan pengalaman dari orang yang paling tua di antara kalian, karena apa yang terlihat hari ini, belum tentu demikian adanya dulu sebelum Anda lahir. Demikianlah dasar pemikiran untuk kita mulai mengenali apa yang berubah dari lingkungan kita. Perubahan itu bisa berupa perubahan ukuran, jarak, suasana, atau perubahan eksistensi. Ketika kita melihat lingkungan di sekitar kita, mungkin kita berpikir bahwa tidak ada yang berubah, tetapi saat kita bertanya kepada orang yang usianya jauh di atas kita atau orang yang paling tua (tetapi belum pikun), maka akan ditemui keterangan yang bisa jadi jauh berbeda.

Menyoal ke sumber daya alam, khususnya di lingkungan pesisir dan laut, dalam berbagai kesempatan menggali tentang apa yang berubah dari garis dasar atau shifting base line, diperoleh keterangan bahwa ternyata kita telah banyak kehilangan sumber daya alam penting. Di beberapa wilayah perairan di Maluku dulunya banyak ditemui akar bahar dan bambu laut, tetapi saat ini jika kita mencarinya, maka di beberapa tempat akan sulit ditemui. Demikian pula dengan kawanan penyu bertelur di pantai Skouw Yambe, Jayapura, yang dulunya dalam semalam bisa ditemui 3 induk sedang melepas telurnya, saat ini dalam setahun paling banyak kemungkinan hanya akan menemui 2 induk bertelur. Garis pantai yang semakin bergeser ke darat terlihat sangat jelas di Dobo Kepulauan Aru dan juga di Urum Merauke. Itu indikator bahwa ada yang berubah dan ada yang hilang dari lingkungan kita. Dari mana kita tahu tentang hal tersebut? dari orang yang paling lama berada di tempat itu.

Apa manfaat kita mengetahui shifting base line tersebut? Tentu saja informasi tersebut yang masih berupa tacit knowledge akan menjadi pengetahuan bagi kita (fixed knowledge) saat kita bersedia menulisnya menjadi tulisan ilmiah. Kegunaannya adalah menjadi indikator perubahan untuk merumuskan strategi pengelolaan berkelanjutan. Dengan mengetahui apa yang berubah, kita bertanya apa yang menyebabkan perubahan itu, dan bagaimana mengatasi penyebab tersebut agar tidak berulang. Lalu kita memikirkan apa saja cara agar sumber daya alam kita bisa berkelanjutan, tidak hanya menguntungkan secara ekonomi hari ini tetapi dalam jangka panjang terancam tidak berkelanjutan. Mari kita coba meminjam teori 3 P dari John Elkingston’s tentang tiga garis dasar keberlanjutan.

Pada tahun 1998, istilah triple bottom line diperkenalkan oleh John Elkingston’s dalam bukunya yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. “Business is sustainable when it
lives up to the “triple bottom line” of economic prosperity, environmental quality and social justice
(Jeurissen, 2000).  Elkingston’s mengisyaratkan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam oleh suatu usaha baik persekutuan atau perseorangan haruslah memperhatikan tiga aspek dasar atau “3P” agar usaha pengelolaan tersebut bisa berkelanjutan. Apa 3 P tersebut? yaitu profit, people, dan planet. Suatu usaha pasti menginginkan profit atau keuntungan, tetapi selain mengejar profit, usaha juga mesti memperhatikan kesejahteraan masyarakat (people) di sekitarnya atau sejauh yang bisa dijangkau, dan yang terakhir suatu usaha harus turut memperhatikan kelestarian lingkungan di tempat usaha tersebut maupun lingkungan lain secara umum (planet). 

Belajar dari shifting base line di lingkungan kita, kita akan mengetahui model pengelolaan yang telah menyebabkan hilang atau berkurangnya sumber daya di sekitar kita. Bahwa semakin langkanya spesies tertentu bukan sebuah keharusan alamiah, juga semakin jauhnya jarak penangkapan ikan yang berakibat pada semakin besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menangkap ikan di laut, bukan hanya karena harga BBM yang meningkat.  Melalui evaluasi pengelolaan maka kita bisa merekomendasikan agar model pengelolaan yang tidak berkelanjutan dihentikan, dan mendorong model pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Bentuk pengelolaan sumber daya pesisir yang tidak berkelanjutan antara lain, penebangan mangrove untuk pemukiman, penimbunan atau reklamasi pantai, penangkapan ikan dengan menggunakan alat yang tidak selektif atau dengan cara yang merusak seperti pengeboman, penggunaan potas dan sejenisnya, pencungkilan karang pada bisnis ikan hias karang, serta bameti (mencari kerang saat air laut surut). Sedangkan model pengelolaan yang berkelanjutan antara lain penangkapan ikan dengan alat yang selektif, penangkapan berbasis kuota, budidaya laut yang ramah lingkungan, dan masih banyak model berkelanjutan yang harus dikembangkan.

Tantangan pengelolaan sumber daya alam kita saat ini  adalah pilihan antara keuntungan besar hari ini atau keberlanjutan. Konsep triple bottom line seharusnya menjadi jalan tengah untuk dilema pengambilan keputusan. Kaum intelektual harus berdiri tegak lurus dengan konsep keberlanjutan tersebut, bahkan banyak melakukan kajian strategis agar menjadi rujukan pengambil kebijakan. Sangat egois jika pengelolaan hanya bertumpu pada tujuan profit hari ini dan menyisakan beban kelangkaan bahkan kehancuran sumber daya bagi generasi mendatang, apa lagi jika keuntungan tersebut hanya buat segelintir orang tetapi merugikan orang banyak (people) secara umum. Shifting base line sebaiknya terus kita gali dari orang-orang yang berusia lanjut di sekitar kita, dan mengubahnya menjadi fixed knowledge agar menjadi pengetahuan bersama, sebelum informasi penting tentang sumber daya alam kita hilang bersama kepergian mereka.

Referensi : Jeurissen Ronald. 2000. Review Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century
Business by John Elkington. Journal of Business Ethics , Jan., 2000, Vol. 23, No. 2 (Jan., 2000), pp. 229-231
Published by: Springer

Ditulis oleh : Agussalim (Trainer Konservasi Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *