Selamat Datang di Website Pribadi Agussalim – Widyaiswara Kementerian Kelautan & Perikanan RI – Mobile Contact: 085242074257

Yanto dan Wisata Mangrove Tangkolak dalam Balutan Sampah Plastik

Senyum sumbringah terbersit di wajah Pak Yanto (pengelola Dewi Bahari Tangkolak, Kelurahan Sukakerta, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) mendapat kunjungan wisatawan dari berbagai daerah, yang sebenarnya peserta pelatihan PELP BDA KP Sukamandi. Senyumnya menyiratkan harapan baru, bahwa tempat wisata mangrove yang dia bangun selama ini akan kembali mendapat perhatian dari pemerintah. Dia telah mengabdikan dirinya dengan sukarela menanam mangrove di kawasan yang dulunya hanya menjadi tempat orang membuang hajat. Sejak 9 tahun lalu, tepatnya 2014, Yanto bersama kelompok yang dibangunnya, telah menanam sedikitnya 80.000 anakan mangrove yang saat ini telah besar dan menjadikan kawasan pesisir Tangkolak teduh dan menarik hati pengunjung. Tidak berselang lama sejak anakan mangrove menghijaukan kawasan ini, tempat ini lalu menjadi objek wisata yang banyak dikunjungi masyarakat. Perhatian pun berdatangan dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dan berbagai perguruan tinggi ternama di tanah air seperti Universitas Indonesia dan Bina Nusantara. Namun apa daya, sejak bencana covid menyerang, saat ini fasilitas pendukung wisata yang telah dibangun banyak mengalami kerusakan dan terlihat sampah berserakan dimana-mana.

Onggokan sampah melingkari gazebo dengan beberapa bagian atap bolong, menjadi pemandangan yang seolah mengisyaratakan bahwa tempat ini sekian waktu tidak dikunjungi, dan kurang terurus. Selain itu, beberapa bagian dari jembatan tracking mangrove tidak bisa dipijak karena rapuh dan telah rubuh di sebagian sisinya. Terdapat pula bangunan bekas kios dengan logo Kementerian Kelautan Perikanan, yang menandakan bahwa itu adalah bantuan pemerintah. Menurut Yanto, kondisi sebelumnya jauh lebih memprihatinkan, jalan arteriĀ  berupa beton penuh dengan sampah plastik. Dengan hati dan jiwa besar, Yanto yang sebelumnya merupakan pelaku pengrusakan terumbu karang di kawasan ini, berusaha membangun kembali objek wisata mangrove ini, sebagai upaya memperbaiki kesalahan masa lalunya. Yanto berusaha mengajak teman-temannya sesama perusak lingkungan agar bertobat dan membangun lingkungan, tetapi sebagian besar tidak mengindahkannya. Yanto tidak berputus asa, bermodal dukungan keluarga, terutama istri dan putranya, dia terus melakukan pembibitan mangrove untuk ditanam pada lokasi yang masih gundul. Dengan berjalannya waktu, serta berbekal restu dari pemerintah kelurahan setempat, Yanto terus berjuang memulihkan kondisi objek wisata Tangkolak. Saat ini sekitar 14 orang mengambil bagian menjadi anggota kelompok besutan Yanto dan membangun desa wisata atau Dewi Bahari Tangkolak.

Diakui oleh Yanto bahwa sampah menjadi kendala terbesar yang dihadapinya dalam memajukan objek wisata Tangkolak agar bisa memuaskan pengunjung. Sumber sampah-sampah plastik tersebut bukan hanya dari penduduk setempat, tetapi juga dari laut dan muara sungai yang terdapat di sisi kawasan mangrove. Selain mengangkut sampah keluar dari kawasan, Yanto tidak punya solusi lain, sementara sampah tersebut terus berdatangan. Tidak ada alat pemusnah sampah, tidak ada insenerator disana. Tetapi Yanto tidak berputus asa, dia terus berjuang mempertahankan eksistensi mangrove tersebut dan meluaskannya selagi dia mampu.

Dalam jabat erat tangan Yanto dengan pengunjung saat berpamitan, seolah dia ingin menitip pesan. Seolah dia ingin berkata, bukankah ini bukanlah tugas Yanto seorang diri? Yanto hanyalah seorang tamatan SMP yang merasa berhutang pada lingkungan yang selama ini banyak dirusaknya. Melalui gerakan menanam mangrove sesungguhnya dia mengajak kepada semua pihak agar tumbuh kesadaran lingkungannya. Yanto ingin menjaga masyarakatnya dari serangan banjir rob air laut yang datang setiap tahun. Yanto juga ingin terumbu karangnya tetap lestari. Mangrove adalah benteng dua sisi yang menurutnya akan menjaga darat dan laut dari kerusakan. Menjaga darat dari serangan rob dan tzunami, menjaga laut dari serangan sampah dan sedimentasi. Yanto tidak pandai merangkai kata, tetapi sangat semangat berkarya mengisi hari-harinya membangun kawasan mangrove. Bukan juga untuk rupiah yang ingin dikumpulkannya, tetapi demi kebaikan masyarakat dan generasi Yanto di masa depan.

Wisata bahari akan menjadi solusi bagi masyarakat pemilik kawasan hutan mangrove seperti Tangkolak. Hanya saja, tidak dengan sendirinya sebuah objek menjadi tujuan wisata yang menarik. Wisata bahari akan menjadi sumber ekonomi baru bagi masyarakat pesisir. Butuh manajemen yang baik dari berbagai pihak yang berkepentingan. Penataan sarpras pendukung, pengaturan entrance fee, pendataan data dukung lingkungan, perhitungan limit of acceptable change (LAC), penumbuhan kelompok sadar wisata (Darwis), pengembangan produk-produk lokal seperti kerajinan kerang atau makanan dan minuman dari mangrove, promosi dan pemasaran wisata serta berbagai hal lainnya. Tidak cukup dengan Pak Yanto seorang, tetapi kehadiran penyuluh, pengelola ekosistem pesisir dan laut, pemerhati wisata, akademisi, aktivis lingkungan, wisatawan dan masyarakat lokal, untuk bahu membahu membangun kawasan mangrove Tangkolak, untuk beranjak dari balutan sampah, menjadi objek wisata yang memberikan jasa wisata yang menyehatkan dan memberikan pengalaman menarik bagi semua pengunjung.

 

Oleh : Agussalim, Trainer Pariwisata Berkelanjutan, KKP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *