Selamat Datang di Website Pribadi Agussalim – Widyaiswara Kementerian Kelautan & Perikanan RI – Mobile Contact: 085242074257

Pariwisata Bahari Berbasis Konservasi dan Keberlanjutan Ekonomi Masyarakat Raja Ampat

Ditulis oleh : Agussalim*)

 Pembangunan ekonomi suatu wilayah yang dititikberatkan pada potensi utama wilayah tersebut akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pariwisata dan konservasi adalah dua hal yang jika disinergikan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Raja Ampat sebagai sebuah destinasi wisata internasional sejak dini sudah harus mengintegrasikan pengelolaan wisata berbasis konservasi agar tidak hilang bersama berlalunya para pengunjung yang datang silih berganti meninggalkan dampak yang bisa sangat merusak dan menyulitkan pemulihan sumberdaya dalam waktu yang lama.

Wanita Pesisir Raja Ampat dan pancing sederhana (Sumber: Edelina Folatpindu)

Wanita Pesisir Raja Ampat dan pancing sederhana (Sumber: Edelina Folatpindu, 2014)

I. PENDAHULUAN

 1.1. Latar Belakang

Siapa yang tidak pernah mendengar kata ‘zamrud khatulistiwa’? Bagi hampir setiap warga negara Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di negeri ini minimal setingkat Sekolah Dasar hampir pasti pernah mendengar dan tau apa maksud dari paduan kata tersebut. Zamrud khatulistiwa maksudnya adalah alam indah bak zamrud (berlian) yang ada di garis khatulistiwa (daerah yang dilalui garis khatulistiwa cenderung beriklim bagus sehingga kehidupan flora dan faunanya sangat baik pula). Itulah gambaran keindahan alam Indonesia yang sampai saat ini masih dominan terus menerus berusaha dipromosikan ke luar negeri agar penduduk negeri lain tau tentang keindahan itu.

Tidak sedikit warga negara dari berbagai penjuru dunia yang pernah mengunjungi Indonesia dan terpesona dengan keindahan alamnya. Dari cerita-cerita mereka sehingga membuat teman, saudara atau kolega mereka pun turut menjadikan alam Indonesia sebagai pilihan terbaik untuk berlibur atau sekedar pesiar atau bahkan tinggal menetap. Kehadiran mereka tentu saja menyebabkan adanya pertukaran mata uang dolar dengan rupiah dalam jumlah yang sangat banyak. Di beberapa lokasi wisata bahkan telah menerapkan entrance fee yang besarnya ada yang mencapai Rp. 1.000.000 per orang per tahun bagi turis mancanegara. Ekonomi masyarakat pun ikut terpengaruh dengan banyaknya pengunjung yang datang di wilayah mereka dan menggunakan jasa atau membeli barang yang mereka sediakan. Bahkan wisatawan domestik pun banyak mengalami pertumbuhan seiring dengan semakin baiknya sarana transportasi di tanah air.

Menyebut kawasan konservasi Raja Ampat, terbayang keindahan alam laut dengan pulau-pulau karst dan pantai yang indah dengan warna air laut yang tergradasi sempurna disebabkan topografi karang pada bawah lautnya. Terbayang pula pemandangan bawah laut yang tiada duanya, bagi mereka yang pernah menyelaminya. Kawasan Raja Ampat memang menjadi pusat keanekaragaman hayati terumbu karang dunia dan menjadi salah satu bagian penting dari Segitiga Terumbu Karang dunia. Sampai saat ini tercatat jumlah pengunjung sudah mencapai lebih dari 8000 orang per tahun (Disbudpar, 2014). Untuk pembangunan Kabupaten Raja Ampat tidak hanya mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat, tetapi juga pemerintah pusat dan internasional. Di tingkat daerah telah terbentuk beberapa regulasi pengelolaan kawasan, di tingkat nasional Raja Ampat banyak mendapat program pembangunan di antaranya oleh KKP melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) yang saat ini telah memasuki tahap III (2013-2017). Kabupeten Raja Ampat saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN). Di tingkat internasional Raja Ampat termasuk dalam bagian The Coral Triangle Initiative (CTI), serta mendapat perhatian berbagai lembaga internasional seperti Conservation International (CI), World Wide Foundation (WWF) The Nature Conservancy (TNC), Starling Resources dan NGO lainnya.

Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten yang masih terbilang baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, resmi menjadi daerah otonom pada tanggal 12 April 2013. Ibukotanya berada di Waisai, yang terletak di Pulau Waigeo. Raja Ampat memiliki luas wilayah 46.296 km2 sekitar 85% dari luas wilayahnya merupakan lautan, sisanya sekitar 6000 km2 merupakan daratan. Kabupaten ini memiliki 610 pulau, terdiri dari empat pulau besar yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, dari seluruh pulau hanya 35 pulau yang berpenghuni. Kabupaten kepulauan ini merupakan bagian dari bentangan laut daerah kepala burung (bird head sea scape) yang termasuk pula kawasan Teluk Cenderawasih, yaitu taman  nasional laut terbesar di Indonesia. Batasan geografis Raja Ampat yakni sebelah utara dengan Samudera Pasifik; sebelah selatan dengan Laut Banda Provinsi Maluku; sebelah barat dengan Laut Seram Provinsi Maluku; dan sebelah Timur dengan daratan Papua Barat, (Prayudha dkk, 2009).

Tetapi sejauh mana keindahan alam itu memberi dampak ekonomi bagi masyarakat di sekitar tempat tersebut?, dan sejauh mana perubahan yang telah ditimbulkan dari upaya komersialisasi keindahan alam tersebut, baik terhadap ekologi, maupun terhadap sosial dan budaya masyarakat setempat? Itu adalah beberapa pertanyakan yang tidak bisa kita abaikan, mengingat bahwa alam ini adalah milik generasi mesa depan yang dititipkan kepada kita untuk disampaikan kepada mereka dalam kondisi yang tetap baik. Tulisan ini mengangkat pentingnya pengelolaan wilayah raja ampat dengan potensi wisata bahari yang besar dipadukan dengan upaya konservasi untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat Kabupaten Raja Ampat yang lebih baik dan  berkelanjutan dan tentu saja sangat bergantung kepada keberlanjutan sumberdaya alam.

1.2. Tujuan

Tulisan ini ditujukan untuk melihat potensi wisata bahari di Raja Ampat dan sejauh mana upaya mengintegrasikan konsep konservasi dengan pengelolaan pariwisata bahari dan hubungannya dengan harapan keberlanjutan ekonomi masyarakat Raja Ampat.

1.3. Sumber Data dan Informasi

Data dan informasi yang disajikan dalam tulisan ini berasal dari pengamatan langsung di beberapa lokasi di Raja Ampat di antaranya Waiwo, Pianemo, Waisai, serta berbagai sumber informasi baik dari Pemerintah Daerah Raja Ampat (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Perhubungan, Dinas Kelautan dan Perikanan), dari LSM/NGO yang berada di raja Ampat yakni Conservation International, dan dari beberapa tulisan tentang Raja Ampat.

 

II. PARIWISATA BAHARI DENGAN PENGELOLAAN BERBASIS KONSERVASI UNTUK EKONOMI BERKELANJUTAN DI RAJA AMPAT

 2.1. Potensi Wisata Raja Ampat

Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten yang masih terbilang baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong, resmi menjadi daerah otonom pada tanggal 12 April 2013. Ibukotanya berada di Waisai, yang terletak di Pulau Waigeo. Kabupaten kepulauan ini merupakan bagian dari bentangan laut daerah kepala burung (bird head sea scape) yang termasuk pula kawasan Teluk Cenderawasih, yaitu taman  nasional laut terbesar di Indonesia. Batasan geografis Raja Ampat yakni sebelah utara dengan Samudera Pasifik; sebelah selatan dengan Laut Banda Provinsi Maluku; sebelah barat dengan Laut Seram Provinsi Maluku; dan sebelah Timur dengan daratan Papua Barat, (Prayudha dkk, 2009).

Peta Raja Ampat (Sumber: Disbudpar Raja Ampat, 2014)

Peta Raja Ampat (Sumber: Disbudpar Raja Ampat, 2014)

Kabupaten Raja Ampat terdiri atas 4 Pulau Besar yaitu Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool, dan 1800 Pulau-Pulau Kecil. Luas wilayahnya 46,108 km2 (87 % – laut), dengan jumlah populasi sekitar 60.000 penduduk. Laut sekitar Kepulauan Raja Ampat memiliki keragaman spesies laut terkaya di dunia. Hasil Survey Marine RAP oleh CI tahun 2001 dan Survey Marine REA oleh TNC tahun 2002 menunjukan biodiversity yang tinggi dimana Raja Ampat memiliki sekitar 600 jenis karang termasuk 75% dari semua spesies karang yang dikenal. Memiliki 1427 jenis ikan karang, dan 700 spesies moluska serta jumlah tertinggi untuk spesies udang kipas/barong. Memiliki ikan endemik 15 jenis, paus dan Lumba-lumba 15 jenis, ikan duyung 1 jenis, penyu 5 jenis, berbagai jenis Pari (Manta) dan berbagai jenis Hiu unik seperti Wobbegong dan Kalabia (Hiu berjalan), serta berbagai jenis kuda laut, (Disbudpar, 2014).

Menapaki kawasan Kabupaten Raja Ampat, merupakan anugerah tersendiri yang layak dibayar harganya oleh siapapun yang menyukai keindahan panorama wisata bahari. Raja Ampat memang menjadi primadona wisata bahari dunia saat ini. Mengunjungi lokasi wisata terbaik dunia belum lengkap tanpa melihat keindahan Raja Ampat. Raja Ampat juga merupakan tempat peneluran penyu yang besar, juga merupakan tempat hidup biota-biota besar seperti dugong, manta dan hiu. Perairan Raja Ampat adalah tempat perlintasan 16 jenis paus dan lumba-lumba. Terdapat mangrove dengan area yang luas pada pesisir Raja Ampat.

Burung Cenderawasih

Burung Cenderawasih (Sumber: Disbudpar Raja Ampat, 2014)

Selain wisata bahari, budidaya mutiara juga menjadi andalan kabupaten Raja Ampat. Di salah satu kawasan Konservasi Perairan Daerah Misool, dengan luas: 343.200 Ha yang saat ini dikelola oleh Kabupaten Raja Ampat, diharapkan dapat mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan dimanfaatkan untuk tujuan wisata bahari. Di perairan ini juga terdapat aktivitas budidaya mutiara nan canggih yang telah memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat kampung di sekitar kawasan konservasi. Selain wisata bahari juga terdapat wisata darat di Raja Ampat. Terdapat Wisata Burung (watching bird) dengan berbagai jenis burung endemik yang menawan seperti Cenderawasih Merah, Cenderawasih Wilson, Kakatua, Nuri, Maleo, dan Kasuari, (Disbudpar, 2014).

Gua Jaman Purba

Gua Jaman Purba (Sumber: Disbudpar Raja Ampat, 2014)

Di Kabupaten Raja Ampat juga terdapat destinasi wisata sejarah dan budaya. Raja Ampat memiliki banyak kekayaan sejarah dan budaya di antaranya wisata sejarah peninggalan perang Dunia II, gambar tangan pada relief gua-gua jaman purba. Terdapat pula manusia perahu (Kajang). Budaya sasi juga dikenal sebagai kearifan lokal dalam mengelola alam wilayah Raja Ampat dan dijadikan sebagai salah satu objek wisata budaya. Selain itu juga terdapat berbagai jenis tari dan lagu daerah. Potensi budaya dan sejarah ini menjadi pelengkap khasanah wisata di Raja Ampat dan menjadi satu kesatuan cerita menarik dan tak terlupakan yang akan dibawa pulang oleh para pengunjung yang datang ke Raja Ampat. Situs sejarah dan wisata budaya itu juga mengundang pengunjung bukan hanya peminat wisata bahari tetapi juga para budayawan dan antropolog. Selain itu juga terdapat wisata hutan berupa jelajah hutan, berkemah, pengamatan flora fauna (cenderawasih merah, kuskus, cenderawasih wilson, maleo, kakatua, nuri, dan beragam anggrek, (Disbudpar, 2014)

 

2.2. Pengelolaan Pariwisata Bahari Raja Ampat

Model Perencanaan memperlihatkan umpan balik dari pengalaman kepada teori, fakta-fakta, tujuan-tujuan dan kontrol yang membawa apa yang kita pelajari dari pengalaman kepada model, kebijakan dan rencana (Ricardson, 2001). Pariwisata bahari yang mengandalkan sumberdaya bahari sebagai daya tarik wisata sudah seharusnya berbasis konservasi. Konservasi yang berarti pemanfaatan yang bertanggungjawab sekaligus perlindungan untuk keberlanjutan sumberdaya. Konservasi sering dikonotasikan dengan perlindungan, cenderung mengarahkan pengelolaan agar sumberdaya terus bisa memberi manfaat kepada manusia dari waktu ke waktu. Konservasi mulai dikenal masyarakat saat ini dengan bagian yang familiarnya yakni sistem zonasi atau pembagian ruang pengelolaan, yang di antaranya berisi zona inti atau no take zone, zona pemanfaatan dan sebagainya. Termasuk dalam bagian konservasi adalah pengelolaan dengan menggunakan alat yang ramah lingkungan atau tidak merusak. Progress yang terus didorong oleh konservasi adalah bagaimana menemukan formulasi baru pengelolaan yang terus meminimalkan dampak negatif dari upaya pemanfaatan. Sehingga jika konservasi menjadi basis pengelolaan wisata bahari, maka besar harapan sumberdaya wisata baik alam maupun sosial dan budaya akan berkelanjutan sehingga ekonomi masyarakat setempat pun akan berkelanjutan.

Ciri pengelolaan pariwisata bahari berbasis konservasi juga terlihat pada metode penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi ikan para pengunjung. Penangkapan ikan dengan menggunakan pancing lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan penggunaan jaring apalagi dengan jaring bermata kecil. Demikian pula halnya dengan upaya melepaskan biota nontarget (bycatch) yang tertangkap pada alat tangkap nelayan seperti penyu, lumba dan spesies lain yang bukan merupakan target tangkapan. Nelayan berusaha menurunkan tingkat tangkapan ikan-ikan kecil yang nantinya terbuang (discards) juga merupakan upaya konservasi sumberdaya. Nelayan tidak membuang alat tangkap yang rusak ke perairan karena akan menjadi ghost fishing (alat tangkap hantu) juga adalah kapasitas konservasi yang harus diterapkan nelayan.

Ciri pengelolaan pariwisata bahari berbasis konservasi di pesisir juga ditunjukkan dengan pencehagan penebangan mangrove untuk berbagai alasan, bahkan sebaliknya menanam anakan mangrove untuk penghijauan dan penguatan struktur pantai. Selain itu menghidupkan kearifan lokal berupa sasi juga menjadi bagian pengelolaan berbasis konservasi. Pada tahap tertentu di beberapa daerah, mangrove dan kearifan lokal manjadi salah satu aset atau spot wisata yang dijadikan destinasi oleh pengunjung. Pemasangan papan informasi tentang pelestarian lingkungan jga menjadi bagian penting upaya konservasi, termasuk di antaranya penyediaan tempat sampah dan larangan membuang sampah sembarangan.

Berbagai konsep konservasi tersebut telah diterapkan di Raja Ampat dalam pengelolaan wisata bahari yang telah terkenal di dunia. Penerapan konsep tersebut juga dalam rangka mengantisipasi dampak akibat banyaknya pengunjung yang menyebabkan besarnya tekanan terhadap sumberdaya yang ada di sana. Seiring dengan itu masyarakat Raja Ampat juga terus teredukasi dengan konsep pelestarian sumberdaya tersebut sehingga dalam waktu yang lama konservasi benar-benar tertanam di dalam benak masyarakat dari generasi ke generasi. Evaluasi konsep pengelolaan juga terus dilakukan oleh pengelola, agar senantiasa selaras dengan arah pengelolaan pembangunan ekonomi di Kabupaten Raja Ampat yang ditujukan untuk mencapai 3 tujuan utama yani kesejahteraan masyarakat (menjamin ketahanan pangan) mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pengembangan wisata bahari dan perlindungan biodiversity,  (Disbudpar, 2014).

Keindahan Raja Ampat tentu tidak hanya untuk dinikmati saat ini saja, tetapi juga harus dipikirkan bagaimana keberlanjutannya bagi generasi mendatang. “Potensi kawasan konservasi Raja Ampat tersebut masih sangat besar. Oleh sebab itu untuk menjaganya, diperlukan langkah-langkah strategis yang mampu mengawinkan antara pariwisata, keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif C. Sutardjo, pada saat kunjungan kerja di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua. (Sabtu 26/04). Sharif menegaskan, konsep tersebut sudah diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP), yang sudah masuk tahap III atau COREMAP III dimulai pada tahun 2013 dan berakhir pada 2017. Pada tahap II, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang pada kurun waktu tahun 2003 hingga 2011, salah satu lokasinya di Kabupaten Raja Ampat. Melalui program ini, aktivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan secara kolaboratif berbasis masyarakat, berbagai mata pencaharian alternatif dikembangkan, monitoring kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang dilakukan secara berkala, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya secara lestari dan berkelanjutan, (LittleKomhukum, 2013).

Wujud nyata program Coremap banyak dinikmati masyarakat. Dimana kabupaten Raja Ampat meliputi 39 kampung. Di setiap kampung tersebut memiliki suatu Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dengan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). LPSTK ini mengelola dana Village Grant untuk pembangunan fisik di kampung, yang besarannya berkisar Rp. 50 juta-Rp 100 juta. Disamping itu terdapat Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang mengelola dana Seed Fund (dana bergulir) di setiap kampung, yang besarannya berkisar Rp. 50 juta – Rp. 100 juta. Dana ini dimanfaatkan masyarakat untuk menunjang mata pencaharian alternatif masyarakat,  (LittleKomhukum, 2013).

Pondok Informasi Raja Ampat (Sumber: Edelina Folatfindu, 2014)

Selain itu, terdapat beberapa Kelompok Masyarakat (pokmas) di setiap kampung, antara lain Pokmas Konservasi dan Pengawas, Pokmas Usaha dan Produksi dan Pokmas Pemberdayaan Masyarakat. Saat ini, di 39 kampung lokasi COREMAP II Raja Ampat terdapat 137 kelompok masyarakat. Di setiap kampung lokasi COREMAP II didirikan Pondok informasi yang dimanfaatkan sebagai pusat informasi dan kegiatan-kegiatan masyarakat. Di Sekolah-sekolah diajarkan Muatan Lokal Pesisir dan Lautan. Masyarakat diberikan pelatihan-pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas SDM, antara lain pelatihan tentang perikanan berkelanjutan, selam dan monitoring kesehatan terumbu karang, sistem pengawasan berbasis masyarakat dan teknik pengambilan data potensi perikanan dan tempat pendaratan ikan.

Dalam rangka mendukung pengelolaan pesisir dan laut khususnya terumbu karang di Raja Ampat telah ditetapkan Rencana Strategis Terumbu Karang dan Peraturan Daerah Terumbu Karang No. 19 Tahun 2010. Peran masyarakat pada program Coremap sangat besar. Bahkan, di setiap kampung lokasi COREMAP II Raja Ampat ditetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dikukuhkan dengan Peraturan Kampung. Penetapan ini dilakukan masyarakat kampung setempat untuk memberikan perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya yang bisa merusak kawasan konservasi. Apalagi, kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak, (LittleKomhukum, 2013).

Saat ini DPL di lokasi COREMAP II Raja Ampat mencakup luasan berkisar 2.179,9 Ha. Kondisi Terumbu Karang di DPL mengalami peningkatan 30% dalam kurun waktu 4 tahun. Selain DPL, pemerintah bersama masyarakat dan lembaga internasional lainnya menetapkan beberapa kawasan konservasi di Kabupaten Raja Ampat. Di antaranya, Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, luas 60.000 ha dan SAP Waigeo sebelah Barat, luas 271.630 Ha. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga membentuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kepulauan Ayau Asia, luas 101.400 Ha, KKPD Teluk Mayalibit luas 53.100 Ha, KKPD Selat Dampier luas 303.200 Ha, KKPD Kepulauan Kofiau dan Boo luas 170.000 Ha serta KKPD Misool seluas 343.200 Ha, (Disbudpar, 2014).

Pola ini merupakan bukti bahwa konservasi tidak hanya perlindungan semata, namun upaya pemanfaatannya dapat menyejahterakan masyarakat. Kawasan konservasi yang dikelola pusat tidak kalah menarik yaitu SAP Waigeo Sebelah Barat. Kawasan ini merupakan konservasi perairan seluas 271.630 Ha yang ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan melalui nomor Kep.65/MEN/2009 pada tanggal 3 September 2009. Kawasan konservasi ini merupakan kawasan yang sebelumnya dikelola Kementerian Kehutanan dan kemudian diserahterimakan pengelolaannya ke KKP. Waigeo Sebelah Barat merupakan ikon Raja Ampat yang telah dikenal dunia. Demikian pula kemilau mutiaranya memancar indah dan selalu menjadikan kenangan yang tak terlupakan sebagai penghias keindahan dunia, (LittleKomhukum, 2013).

KJA di Waiwo

Keramba Jaring Apung di Waigeo (Sumber: Agussalim, 2014)

Pengelolaan budidaya ikan dengan konsep keramba jaring apung yang ramah lingkungan yang mulai banyak dilakukan di perairan Raja Ampat diharapkan dapat mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan dimanfaatkan untuk tujuan wisata bahari. Dengan kemampuan membudidayakan ikan pada keramba jaring apung maka akan mereduksi banyaknya kegiatan penangkapan ikan dengan pengeboman, dan akan meningkatkan stok ikan serta memenuhi kebutuhan konsumsi ikan para pengunjung.

 

2.3. Peran Stakeholder

Pariwisata bahari berbasis konservasi untuk pertumbuhan ekonomi perlu didukung dengan keterpaduan peran berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM lokal maupun internasional, tokoh masyarakat, masyarakat adat serta para pengusaha/investor. Mereka akan bekerjasama sekaligus meningkatkan komitmen untuk melindungi dan melestarikan sumberdaya yang ada, untuk dikelola secara lestari dan dimanfaatkan secara bertanggungjawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seperti halnya di daerah lain, pembangunan wilayah pesisir dan laut di Raja Ampat juga menghendaki adanya kerjasama dari para pihak atau stakeholders pembangunan di kawasan pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah, masyarakat pesisir, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut harus menyusun perencanaan pengelolaan terpadu yang dapat mengakomodir segenap kepentingan mereka dengan menggunakan model pendekatan dua arah yaitu pendekatan top down dan bottom up. Pembangunan wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan sebab pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan beragamnya sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu.

Lima alasan yang mendasari pentingnya pengelolaan secara terpadu (Tuwo, 2011) yaitu: Satu, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan peisisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir, misalnya hutan mangrove, cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Demikian pula halnya jika pengelolaan kegiatan pembangunan misalnya industri, pertanian, dan pemukiman, di lahan atas suatu daerah aliran sungai tidak dilakukan secara arif atau berwawasan lingkungan, maka dampak negatifnya akan merusak tanaman dan fungsi ekologis kawasan pesisir. Dua, dalam satu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari satu jenis sumberdaya alamiah, sumberdaya buatan dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan. Tiga, dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari suatu kelompok masyarakat yang memiliki kepeterampilan atau keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda seperti petani sawah, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya. Empat, baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur atau single use sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Lima, kawasan pesisir merupakan sumberdaya milik bersama yang dapat digunakan oleh siapa saja dimana setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip memaksimalkan keuntungan. Hal ini menyebabkan kawasan pesisir rawan terkena masalah pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang.

Contoh keterpaduan tersebut adalah tindaklanjut dan dukungan upaya pengelolaan kawasan konservasi perairan secara efektif melalui pemanfaatan wisata bahari yang berkelanjutan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebagai daerah dengan potensi wisata bahari yang besar, maka pemerintah daerah Raja Ampat menempatkan pengembangan pariwisata menjadi prioritas pembangunan dan akan menopang sektor lain. Sehingga penataan ruang untuk pengembangan juga mengacu pada kriteria-kriteria wisata. Disbudpar (2014), menyatakan bahwa prioritas kegiatan wisata di Raja Ampat adalah Wisata Bahari (diving, kayaking, lifeaboard, snorkeling, sport fishing) dan Wisata Darat (jelajah hutan, bird watching, landscape, situs budaya, seni,   kampung wisata).

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Raja Ampat (2014) menyebutkan bahwa berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati laut, ada 4 kawasan potensial untuk pengembangan wisata bahari di Raja Ampat  yaitu: Kawasan Kepulauan Wayag Dsk; Kawasan Pulau Gam, Kri, Mansuar Wai (Wilayah Selat Dampier); Kawasan Pulau Ketimkerio dsk (Wilayah Misool Selatan); dan Kawasan Pulau Kofiau.

Berdasarkan kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati lautnya, teridentifikasi 4 (empat) kawasan yang berpotensi besar untuk pengembangan kegiatan wisata bahari, yaitu: Kawasan pulau Wayag hingga gugusan pulau Kawe di bagian utara Waigeo; Kawasan pulau Gam – pulau Kri, Mansuar dan pulau Wai; Kawasan pulau Ketimkerio – pulau Wagmab dan pulau Walib dibagian selatan Misool; dan Kawasan gugusan pulau Kofiau dibagian timur kepulauan Raja Ampat, (Disbudpar, 2014).

Dalam penataan ruang pesisir dan laut, secara ekonomis dibagi atas spot-spot wisata dan upaya konservasi sekaligus. Zonasi tersebut lalu dibagi dalam tiga zona yaitu Zona Intensif di sekitar Ibukota Waisai, Zona Semi Intensif di Perairan Selat Dampier, Pulau Gam, dan sebagian Waigeo Barat, serta Zona Ekstensif di Perairan Misool Timur Selatan, Kofiau, dan sekitar Pulau Wayag.

  1. Pengembangan Pariwisata di Zona Intensif
    • Pembangunan sarana pariwisata diarahkan untuk dapat menerima kunjungan   wisatawan dalam skala lebih besar dengan berbagai aktivitas wisata.
    • Pembangunan sarana yang bersifat permanen, seperti dermaga, hotel, restoran, sarana rekreasi pantai dan daratan, sarana hiburan, sarana olah raga dan area atraksi budaya
    • Usaha pariwisata lainnya dapat dikembangkan pada zona ini.
  2. Pengembangan Pariwisata di Zona Semi Intensif
    • Pembangunan sarana pariwisata diarahkan untuk menerima kunjungan wisatawan dalam skala lebih kecil
    • Aktivitas wisata terbatas dan bersifat spesifik, seperti pengamatan satwa liar (burung cenderawasih), jelajah hutan, menyelam, snorkeling, dan kayaking.
    • Pembangunan akomodasi yang diperbolehkan seperti tipe resort, dengan jumlah kamar terbatas dan pengembangan homestay (di kampung Wisata)
  3. Arah Pengembangan Pariwisata di Zona Ekstensif
  4. Arah Pengembangan Pariwisata di Zona Ekstensif
    • Kegiatan diarahkan khusus untuk kegiatan wisata dan penelitian
    • Kegiatan wisata yang dapat diselenggarakan di zona ini seperti menyelam, snorkeling, kayaking, dan sebagainya.
    • Kawasan ini diprioritaskan untuk penelitian dan pendidikan

Untuk kebutuhan pengembangan kapasitas dalam membudidayakan ikan maka salah satu stakeholder Raja Ampat yakni Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan (BPPP) Ambon yang merupakan UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membawahi Raja Ampat, telah melatih masyarakat Raja Ampat untuk membudidayakan ikan pada Keramba Jaring Apung (KJA).

Dalam menjaga daya dukung lingkungan yang menjadi andalan pariwisata Raja Ampat, masyarakat Raja Ampat juga dibekali dengan kapasitas konservasi pengelolaan perikanan berkelanjutan yang berisi strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan pembatasan alat tangkap, pelarangan alat tangkap yang merusak, penetapan kuota tangkap dan sebagainya. Masyarakat juga dilatih memahami fungsi zona-zona perairan dan dilatih membentuk zonasi pada wilayah perairan mereka. Masyarakat Raja Ampat juga dibangun kesadarannya akan pentingnya penegakan aturan baik aturan nasional maupun aturan yang digali dari kearifan lokal daerah mereka.

Masyarakat Raja Ampat juga dilatih mengolah ikan dan rumput laut agar lebih bernilai ekonomis tinggi dengan mengubahnya menjadi abon, nuget, kerupuk, kaki naga, dodol, manisan dan berbagai diversifikasi olahan lainnya. Untuk ikan nonkonsumsi masyarakat juga dilatih membuat kerajinan kulit kerang dari kulit kerang mutiara yang merupakan limbah budidaya kerang mutiara (blue economy) agar menjadi hiasan yang layak jual dan bernilai tinggi, yang akan menjadi cindera mata bagi para pengunjung dan menjadi tambahan pendapatan bagi masyarakat Raja Ampat. Semua upaya itu dilakukan agar masyarakat tidak lagi terpaku pada pola pikir bahwa hanya dengan penangkapan sumber keuangan satu-satunya bagi mereka. Sehingga hal ini akan mencegah masyarakat melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran bahkan cenderung destruktif. Semua upaya itu dilakukan dalam rangka menjaga keberlanjutan Raja Ampat baik dari segi ekologi, sosial budaya dan menjaga pertumbuhan ekonomi masyarakat, dengan menjadikan pariwisata sebagai ujung tombaknya.

 

2.4. Pengelolaan Tarif Masuk dan Sumber Pendapatan Masyarakat Lainnya

Model pengelolaan yang telah diterapkan di Raja Ampat adalah adanya entrance fee atau tarif masuk. Dalam perkembangannya, pengelolaan dengan tarif masuk juga mengalami revisi sesuai tuntutan kondisi yang terjadi. Tarif masuk di Raja Ampat telah ditetapkan sejak tahun 2004 oleh Bupati melalui Peraturan Bupati (Perbup) No.53 tahun 2004 tentang Pajak Orang Asing dimana setiap turis dikenakan tarif Rp.200.000,-/orang. Pembagian hasil tarif masuk untuk pengelolaan daerah Rp.100.000,- untuk PAD; Rp.25.000,- untuk leges; Rp.40.000,- untuk pengawasan dan Rp. 35.000,- untuk kampung, (Disbudpar, 2014).

Kapal cepat Raja Ampat - Sorong

Kapal Cepat Raja Ampat – Sorong (Sumber: Agussalim, 2014)

Timbul masalah di tahun-tahun awal penerapan tarif masuk karena pembagian ke masyarakat tidak jelas sehingga masyarakat tidak puas dan menimbulkan terjadinya pungli ke kapal-kapal wisata. Wisatawan diharuskan melapor ke kampung-kampung. Hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat. Maka pada tahun 2006 Dinas Pariwisata bersama CI dan TNC melakukan revisi terhadap kebijakan tarif masuk, serta melakukan sosialisasi ke kampung tujuan wisata dan sosialisasi aturan ke liveaboard/kapal wisata dan resort. Selain itu Disbudpar melakukan training untuk kapasiti building tenaga pengelola dan training untuk kapal wisata. Survey willingness to pay (kerelaan membayar) terhadap para wisatawan juga dilakukan, (CI, 2014).

Hasil revisi terhadap Perbup Tahun 2004 menghasilkan Perbup No. 63 tentang tarif masuk untuk pariwisata (250.000,-/orang untuk turis lokal dan 500.000,-/orang untuk turis internasional) per tahun, Perbup No.64 tentang non retribusi dan No.65 tentang Pembentukan Tim Pengelola. Sejak tahun 2011 berlaku pembatasan jumlah kapal pengunjung yakni maksimal 40 ijin untuk kapal yang rutin dan maksimal 10 ijin untuk kapal yang sekali kunjung. Perbup No.4 tahun 2011 juga menetapkan aturan melarang kegiatan banana boat, jet ski, para sailing kecuali di Waisai (ibu kota kabupaten); Memacing hanya boleh dilokasi tertentu dan dengan ijin dari kampung; Konstruksi bangungan tidak boleh bangunan beton, harus ramah lingkungan, (CI, 2014).

Pengelolaan tarif masuk menggunakan mekanisme satu pintu sehingga wisatawan hanya membayar tariff satu kali saja. Hasilnya kemudian dikelola bersama oleh segenap stake holder dengan ketentuan 30% untuk PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan 70% dikelola oleh sebuah badan (perwakilan berbagai komponen masyarakat sehingga tidak terjadi konflik) yang peruntukannya untuk masyarakat dan konservasi, (CI, 2014).

Selain tarif masuk, pemilik resort juga memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Raja Ampat dengan menyumbangkan 10% dari keuntungan resortnya untuk konservasi di Raja Ampat. Selain itu resort yang terdapat di Raja Ampat juga mempekerjakan masyarakat lokal dengan gaji di atas upah minimum. Pada beberapa kampung diperoleh keterangan bahwa pemilik resort di Raja Ampat juga menanggung kebutuhan BBM masyarakat baik untuk penerangan maupun untuk operasi penangkapan ikan dan transportasi laut.

Disbudpar (2014), menyebutkan bahwa aktivitas utama dari pariwisata bahari di Raja Ampat adalah menyelam. Selain selam, hal yang bisa dilakukan pengunjung adalah berenang, snorkeling, kayaking (bersampan), berjemur, mancing, memberi makan ikan (di Resort Waiwo), menyaksikan hiu paus dan berlayar. Sumber-sumber pendapatan masyarakat yang bisa digali dari kegiatan selam dan kegiatan lainnya di antaranya membangun dive centre yang memberi layanan penyewaan alat, pemandu dan instruktur yang memenuhi standar. Selain itu pengunjung sudah pasti membutuhkan sarana transportasi yang baik  berupa speed boat atau liveaboard/ kapal ke lokasi wisataPengunjung juga membutuhkan media interpretasi dengan info yang lengkap tentang site, arus, ombak, musim, lisensi, hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di lokasi, maupun waktu yang baik untuk aktivitas tersebut. Pengunjung juga sudah pasti membutuhkan fasilitas rekreasi berupa cottage, restoran, toko cinderamata, marina, kolam, tempat bilas, toilet, klinik kesehatan, security, serta aksesibilitas yang baik. Semua itu juga menjadi sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat Raja Ampat.

Semua hal yang dibutuhkan oleh wisatawan hampir telah disediakan oleh pengelola wisata Raja Ampat. Selain menyiapkan sarana dan prasarana wisata, pemerintah bersama stakeholder juga melakukan peningkatan kapasitas  agar masyarakat menjadi pelaku utama dari pengelolaan tersebut. Model pengelolaan yang dilakukan tersebut dalam rangka memajukan perekonomian masyarakat Raja Ampat dengan menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan, dan upaya penyelamatan sumberdaya yang ada dengan penerapan konsep konservasi dan peningkatan kapasitas masyarakat.

 

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Raja Ampat merupakan kawasan wisata bahari yang punya potensi yang sangat besar dan telah menjadi tujuan wisata dunia. Dalam perkembangannya pengelolaan ekonomi dan kawasan di daerah ini dititikberatkan pada pengembangan pariwisata berbasis konservasi, terbukti dengan penetapan zonasi-zonasi dalam penataan ruang wilayah pesisir dan lautnya. Pemda bersama stakeholder juga terus melakukan pengembangan kapasitas masyarakat untuk sumber ekonomi alternatif melalui kapasitas pengelolaan budidaya ikan, pengolahan hasil perikanan baik konsumsi maupun non konsumsi serta kemampuan mengelola jasa-jasa lingkungan di spot-spot wisata, dalam kerangka konsep konservasi. Penerapan sistem tarif masuk yang diarahkan untuk pembangunan konservasi, dan pengelolaan berbagai sumber pendapatan masyarakat dalam paket wisata bahari secara signifikan membantu pertumbuhan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, dan pembangunan Kabupaten Raja Ampat secara umum.

Kabupaten Raja Ampat tidak hanya mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat, tetapi juga pemerintah pusat dan internasional. Di tingkat daerah telah terbentuk beberapa regulasi pengelolaan kawasan, di tingkat nasional Raja Ampat banyak mendapat program pembangunan di antaranya oleh KKP melalui program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) yang saat ini telah memasuki tahap III (2013-2017). Kabupaten Raja Ampat saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN). Di tingkat internasional Raja Ampat termasuk dalam bagian The Coral Triangle (CTI), serta mendapat perhatian berbagai lembaga internasional seperti Conservation International (CI), World Wide Foundation (WWF) The Nature Conservancy (TNC), Starling Resources dan NGO/LSM lainnya. Raja Ampat juga mendapat perhatian dari BPPP Ambon dalam pengembangan kapasitas masyarakat melalui pelatihan-pelatihan buat masyarakat meliputi pelatihan budidaya ikan di karamba jaring apung (KJA), diversifikasi pengolahan ikan, kerajinan kulit kerang mutiara, konservasi perikanan berkelanjutan, serta permesinan perikanan.

Semua wujud perhatian tersebut baik yang berbentuk regulasi maupun pendampingan masyarakat Raja Ampat, semuanya bersinergi menciptakan iklim yang sangat kondusif untuk pengelolaan pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan, yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dalam jangka waktu yang panjang. Tak heran jika Raja Ampat kemudian dianggap layak menjadi contoh pengelolaan sustainable tourism di Indonesia karena Raja Ampat telah secara dini diproteksi dengan berbagai regulasi yang mengedepankan prinsip konservasi untuk kesejahteraan ekonomi dalam pengelolaan wisata bahari.

 

3.2. Saran

Distribusi peningkatan kapasitas masyarakat dan aparatur harus merata di semua daerah di Raja Ampat, agar pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menyeluruh dapat terus dipertahankan. Selain itu pemerintah perlu mendorong masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam secara efisien melalui kreativitas dan inovasi teknologi dan menjadikan prinsip konservasi sebagai screen untuk setiap konsep dan regulasi yang akan diterapkan di Raja Ampat. Sinergitas stakeholder juga harus terus dievaluasi dan diperbaharui agar senantiasa simultan mengawal dan mendorong pertumbuhan pembangunan Raja Ampat.

 

*) Agussalim (penulis) adalah PNS (trainer) di Balai Diklat Perikanan (BPPP) Ambon UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan yang wilayah kerjanya meliputi Papua, Papau Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Konsern pada Konservasi Perairan dan Pariwisata Bahari Berkelanjutan.

 

Referensi:

Agussalim. 2014. Foto Praktek Lapang Program Studi Ilmu Kelautan di Waigeo Raja Ampat, tahun 2014. PPS Unpatti, Ambon.

Ambo Tuwo. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional, Surabaya.

Bayu Prayudha, dkk. 2009. Monitoring Terumbu Karang Raja Ampat (Pulau-Pulau Batangpele). COREMAP II-LIPI, Jakarta.

CI. 2014. Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan dan Pariwisata Bahari Raja Ampat. Conservation International, Raja Ampat.

Disbudpar. 2014. Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Raja Ampat. Bahan Presentase Kadis Budpar Kabupaten Raja Ampat di Waiwo Resort Februari 2014. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Raja Ampat.

Edelina Folatfindu. 2014. Foto Praktek Lapang Program Studi Ilmu Kelautan di Waigeo Raja Ampat, tahun 2014. PPS Unpatti, Ambon.

LittleKomhukum. 2013. Raja Ampat, Padukan Konservasi, Pariwisata dan Ekonomi. octaviack.blogspot.co.id

Ricardson, 2001. Prinsip Pengelolaan Ekonomi Regional. Anonim, 2013 (Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Unpatti), Ambon.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *